“Kita cukup sampai disini”
“Selamat tinggal”
“Sampai ketemu nanti”
Ujar nenekku, padanya.
Ambiguitas
dari kehilangan adalah diciptakan dan ditakdirkan. Bagi sebagian ruh,
kehilangan adalah bentuk kematian. Sedangkan bagi sebagian ruh yang tersisa,
kehilangan adalah bentuk mukjizat mengenai kehidupan. Aku tak dapat
menggambarkan melalui kata, sastra ataupun dikuaskan melalui pena mengenai
perasaan ketika Tuhan mendatangkan apa yang Dia ciptakan lalu mengambilNya
kembali dengan jalan berbelit, sulit namun menawan.
Menurutku,
diri kita sebagai manusia tak pernah berwujud utuh karena keutuhan diri hanya warisan yang
dititipkan sesaat. Sebagai ikhtisar, aku mengagumi ketampanannya yang merupakan
genetika dari ayahnya, kebijaksanaannya yang merupakan bentukan dari arus
pergaulannya, kehadiran orang disekelilingnya, termasuk perempuan yang
dicintainya adalah bagaimana pikiranku mendeskripsikan dia secara utuh. Itulah
penilaianku pada album lama tahun 1988 milik ayahku, yang kini ubannya mulai
tumbuh, area sekitar matanya yang mulai mengeriput, sosok perempuan yang
dicintainya yakni ibuku tetap disampingnya namun perempuan yang melahirkannya yakni
nenekku kini bercengkarama dialam yang berbeda. Semuanya, perlahan hilang.
Bagaimana
rasanya kehilangan? Kuibaratkan pada sebuah kertas yang saling melekat oleh
perekat seperti lem. Ketika
dipisahkan kembali menjadi dua bagian yang berbeda, aku sangat yakin kedua
kertas takkan pernah kembali utuh seperti semula. Sebagian ada yang masih
melekat pada bagian lain, sebagian lagi akan robek, kesemua itu ditentukan oleh siapa dan bagaimana caranya ia merobekkan kedua kertas. Itulah arti kehilangan bagi ayahku, aku dan
manusia lainnya. Seerat apapun menggenggam akan berlalu juga, sebagian melekat sebagai kenangan, sebagian lagi terbawa arus kehidupan. Namun, aku tetap tak dapat mendeskripsikan perasaan yang bergejolak didalam batin saat kita kehilangan, tapi setidaknya kita sempat bersatu dengan sesuatu yang tertoreh oleh mata dan
sentuhan. Terkadang kita melepaskan untuk kehilangan, tapi terkadang dengan
adanya takdir kita terpaksa kehilangan. Karena waktu berkuasa, dan karena
waktu dapat menjinakkan nafas.
Regenerasi. Secara ilmiah aku percaya bahwa
itu tujuan dari kehilangan. Apa yang diwariskan oleh nenekku pada
ayahku, selanjutnya akan diwariskan pula padaku. Sesederhana bahwa aku adalah
perempuan dan ayahku membentukku menjadi wujud baru dengan sedikit modifikasi dari nenekku. Entah itu
nestapa karena mengingatkan ayahku pada almarhum nenekku, atau justru
membahagiakannya karena mengembalikan kembali apa yang sudah diambil oleh Yang
Maha Esa.
Namun kenyataannya aku bukanlah nenekku, aku
adalah sesuatu yang terlahir baru dengan wajah yang berbeda namun sedikit mirip dengannya. Darah, daging dan DNAku adalah kolaborasi antara
sperma ayahku dan juga ovum ibuku. Pergaulan dan zamanku berbeda dengan nenekku,
tapi setidaknya aku adalah persembahan baru untuk rasa sakit ayahku ketika
kehilangan almarhum nenekku. Kakak dan adikku juga membantuku menyempurnakan
formulasi obat untuk rasa kehilangan bagi ayahku.
Ini adalah
caraku menafsirkan arti kehilangan bahwa kehilangan adalah sebuah takdir yang
tidak dapat diganggu gugat. Saat kita kehilangan apapun, maka selalu ada tuan baru baginya entah itu Tuhan atau manusia lainnya. Tapi cara Tuhan mengganti dan mendatangkan sesuatu yang baru, tak
pernah terkira, sesuai yang aku diucapkan diawal berbelit namun menawan.