Formulir Kontak

 

A N A L O G I




Ada emosi yang bergemuruh hingga menyisakan langit-langit yang runtuh
Ada suara yang terbunuh hingga nyawa jadi sasaran penuh
Sesekali lawan lumpuh oleh doa yang ampuh
Hingga mereka rapuh, kemenangan kami merengkuh
            Ada sajak anak kecil yang terbit di layar kaca, ia hanya kata-kata sederhana yang digambar melalui tangisan yang ingin dibaca. “Tolong…tolong” ia berteriak dalam diam. Wajahnya samar, sekujur tubuhnya memar, “Ini ulah mereka yang kasar” simpulanku dalam sebait kata. Ini sekedar analogi bagi mereka yang dipandang lemah dan merindukan sebuah rumah. Rumah yang berisi jiwa penyelamat nyawa.
            Ini selayang rindu pada kebebasan, yang ingin berbeda tanpa perlawanan, yang merindukan persamaan untuk keadilan dan mencoba menyatakan kebenaran tanpa dipertanyakan. Ini sebuah nyanyian bagi jiwa yang lelah tertidur dalam persembunyian. Sembunyi dalam rasa takut, karena hidup diantara dogma yang membuat tersudut. Sembunyi diantara banyak pembenaran otoriter yang tak kunjung lengser dan kontemporer.       
            Ini tentang nurani sebagian mereka yang dipandang lemah oleh dunia yang sedang marah. Suara mereka dibungkam, oleh berisik yang tak padam. Bertahan adalah pertahanan, diam adalah ilham. Sesekali mereka ingin melucuti rasa nyaman demi rasa aman tanpa kemunafikan. Sesekali mereka berteriak tolong demi diamnya suara yang tak henti melolong. Apakah ada sebuah saut yang berdenyut? harapnya menciut.  Kuharap Tuhan mencipta sebuah runut bagi mereka yang butuh runtut.
            Kupikir menjadi buih diantara lautan selalu terhakimi untuk terlihat musnah. “Enyah kau” ketika tiupan angin menyumpah dengan gagah hingga melarutkan buih dalam lautan yang resah. Ini analogi untuk mereka yang sedang menjelajah dengan gelisah. Mereka eksis berbaris diantara kata besar hingga Tuhan mencipta kata kecil. Mereka minor diantara mayor. Mereka ada, untuk menggenapi butir-butir pelajaran  mengenai peduli, empati, dan toleransi.  
            Tapi sayang, terlalu banyak manusia yang buta makna. Hingga mereka menjadi monster yang berbusana. Mereka mematikan asa, untuk memantik egois yang tak kadaluarsa. Sebagian hanya diam mencaci maki, sebagian bertindak sambil menginjakan kaki dengan penuh emosi. Tapi, sebagian lagi mencoba peduli karena manusiawi yang menempati posisi. Untuk mereka yang minoritas, mereka tegas menghadapi dunia yang buas.

Total comment

Author

Unknown

0   komentar

Cancel Reply