Formulir Kontak

 

Pendidikan Hati



Educating the mind without educating the heart, is no education at all” - Aristotle
Saya sedikit menggemari filsafat. Bila saya menjadi Nobita, saya akan minta mesin waktu Doraemon agar dapat kembali ke masa lalu untuk menyeruput es teh manis bersama Aristotle dan Socrates. Socrates akan mengajarkan saya dialog sehat, sedangkan  Aristotle akan memberikan  saya ceramah mengenai pendidikan hati. Bicara perihal pendidikan hati, ini menggiring saya pada fenomena ini;
Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin oleh Prof Dr Bambang Pranowo --yang juga guru besar sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, mengungkapkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal.
Data itu menyebutkan 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia.
Jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3% siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom.
Dalam survei The Pew Research Center pada 2015 lalu, mengungkapkan di Indonesia, sekitar 4 % atau sekitar 10 juta orang warga Indonesia mendukung ISIS - sebagian besar dari mereka merupakan anak-anak muda.
(Sumber:http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/02/160218_indonesia_radikalisme_anak_muda)
Saya termenung melihat berita itu, tapi tidak kaget juga. Kadang penasaran, itu mereka (para siswa dan guru) yang setuju akan serangan bom, udah baca buku (atau situs) apa aja sih? Udah diajarin apa aja selama hidupnya, dan oleh siapa? Melihat fenomena demikian, sepertinya bila Almarhum Gusdur dan Soekarno masih hidup, rasanya sudah ditampar mereka satu-satu. Tapi dengan ilmu dan pemahaman, bukan fisik, karena mereka bukan preman.  Ironisnya, saya juga bingung; mereka itu korban politisasi bukan? Karena eksistensi teroris semacam ISIS dan Boko haram juga memang ada dan nyata-nyata memang mereka menyalurkan propaganda ke berbagai negara. Kemajuan teknologi memang banyak memberi manfaat, tapi dapat menjadi patologis bila penggunanya kurang bijak dalam menggunakannya. Quotes tergalau sampai terbijak, motivasi, syiar agama, politik, info kesehatan hoax dan berbagai info lain, sudah sering saya baca judul dan opini yang sama berkali-kali, tetapi sumbernya dari tempat yang berbeda.
Saya memiliki banyak grup di whatsapp dan line, dimulai dari grup keagamaan, lintas iman, politik, sekaligus pemuda-pemudi hobi bercanda. Saya mendapat broadcast berbagai informasi dari tempat tersebut. Saya berpikir, jangan-jangan ini media yang paling menunjang untuk meradikalisasikan pelajar-pelajar di Indonesia. Berita yang didapat dari media sosial cenderung singkat, dan bagi para pelajar yang malas membaca buku, saya yakin hanya itu sumber yang mendominasi isi kepala mereka. Berkaca saja dari pasca pengeboman Sarinah, broadcast mengenai “Jangan pasang hastagh!” benar-benar tidak terlewatkan sama sekali dari setiap grup yang saya punya di media sosial. Hanya dalam kurun waktu hitungan jam, broadcast itu sudah sampai masuk di berbagai kepala manusia Indonesia. Ilmu cocoklogi, memang tak hentinya menghampiri.
Pernah saya bertanya ke salah satu mahasiswa, “feminisme itu apa?” jawabannya,
“Itu aliran barat dan konspirasi” – Ilmu “Pokoknya” kalau kata teman saya Rivanlee, mengalahkan segala macam ilmu. Tanpa peduli sejarahnya, datanya, definisinya secara akademis, apapun yang dianggap bertentangan dengan agama, pasti tanggapannya tidak jauh dari kosakata; Konspirasi, barat, dan kafir.
Sewaktu saya SMA, salah satu senior saya bilang “Mi, dunia kuliah itu keras”. Saya masih bodoh, menganggap bahwa keras itu hanya perihal fisik. Tapi ketika menjalani 3,5 tahun di dalamnya, saya sadar yang membuat kuliah keras itu pertentangan isi kepala di antara mahasiswa. Kamu mengaku liberal, dicerca oleh yang konservatif. Sama juga sebaliknya, bila terlalu konservatif dicerca oleh yang condong ke liberal. Kalau ingin lihat gambaran nyatanya secara kasat mata, log in saja di facebook, ada tagline “Indonesia Tanpa JIL” ada juga tagline lain “Indonesia Tanpa Mengkafirkan” yang keduanya bertebrangan sekali isinya. Sudah lihatkah bagaimana isinya, berikut komentarnya? Selalu ada dua kutub yang berbeda di dalam mahasiswa, bukan hanya mahasiswa, bahkan kalangan dosen juga. Saat ada yang teriak lantang “Hidup mahasiswa!” kadang otak langsung ngasih stimulus; mahasiswa dengan ideologi yang mana?
 Masing-masing sudah punya agenda dan tujuannya masing-masing; ada yang tetap berusaha mengabdikan pancasila di Indonesia, ada pula yang berusaha mendirikan negara berbasis agama. Wong saya sering dapet selebarannya di kampus. #Pancasilahargamati
Kembali lagi ke topik utama, saya sebagai mahasiswa, merasakan sekali menjadi sasaran politik dari berbagai ideologi. Bukan dihubungi lewat telepon “Helo Rasyida, i am from ISIS, will you join us? , bukan seperti itu, akan tetapi ada prosesnya. Melalui berita-berita, artikel-artikel, tulisan-tulisan, melalui broadcast-broadcast yang berseliweran; di facebook, twitter dan timeline line, dari sanalah ajakan-ajakan secara “tidak langsung”nya. Bila orang sudah setuju dengan ideologinya, apapun dapat dilakukan dengan mengebiri agama untuk dijadikan sebagai topengnya. ISIS, boko haram, maupun gerakan terorisme yang lainnya, takkan berjaya tanpa massa yang banyak. Mereka mencari massa terus-terusan di berbagai negara, yang saya rasa, mahasiswa merupakan salah satu sasarannya. Lihat saja Bahrun Naim (tersangka bom sarinah), toh dia sendiri sudah membuat senjata dan bom semenjak dia kuliah. Embel-embel senjata membawa pada surga, sepertinya memang diterima oleh sebagian pihak. statistik di awal yang membuktikannya. 10 juta orang loh, 10 JUTA ORANG dari masyarakat kita setuju terhadap ideologi ISIS. Saya berharap, tidak satupun dari mereka menempati kursi pemerintahan.
Saya ingin mengutip pernyataan Malala, “senjata dapat membunuh teroris, tapi pendidikan dapat menghentikan terorisme”. Pendidikan seperti apa? Mereka itu, yang menjadi sasaran seperti saya, sama-sama seorang mahasiswa yang mengenyam pendidikan. Mereka itu, yang sering menebar kebencian, tak jarang sudah bergelar doktor. Kadang saya penasaran, apa jenjang pendidikan yang dimiliki oleh seseorang memiliki korelasi dengan sikap toleransinya. Maka yang saya tanyakan, kekurangannya apa dari pendidikan kita ini? Aristotle menjawabnya ribuan tahun lalu, Pendidikan hati.
Mahasiswa itu memiliki banyak ilmu dari ruang kelasnya selama bertahun-tahun. Ilmu yang mereka miliki bisa menjadi manfaat, bisa jadi boomerang. Bukan pikiran lagi yang menentukan perihal itu, tapi jelas-jelas hati nurani. Memangnya membuat pisau, bom dan senjata tak butuh ilmu? Itu semua sumbernya dari ilmu. Tapi orang yang menggunakan pisau, bom dan senjata memiliki pilihan; mau menggunakannya untuk membunuh atau tidak? Bagi saya pribadi, pendidikan dan ilmu itu dapat mengasah pikiran, tetapi agama melengkapinya untuk mengasah hati dan kemanusiaan.
Nah yang saya ingin sampaikan kepada pelajar dan pemuda yang setuju akan aksi pengeboman, dan menggunakan agama sebagai cadarnya, cuma mau bilang; Imanmu itu harusnya mengerdilkan ego dan hawa nafsumu, bukan akal sehat dan hatimu.
Pelajaran yang saya tahu dari Islam untuk pedoman kehidupan sehari-hari adalah; kebaikan, kemanusiaan, kejujuran, memaafkan, kasih sayang, juga senyuman. Perilaku dan nilai itu harus diberikan kepada siapa saja; tanpa memandang sukunya, agamanya, ataupun rasnya. Salah satu dari catatan penelitian itu menjelaskan bahwa indikasi intoleransi itu adalah; satu golongan mengkafirkan golongan yang lainnya serta mengatasnamakan agama dalam aksinya. Kembali lagi, saya ingin bilang; surutkan tinggi hatimu itu nak.
Merawat hati itu memang dengan menerima kebenaran, dan melalui cara-cara yang benar. Buang saja;
Prasangka itu; “Wahai orang yang beriman! Jahilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa” Al-Hujurat ayat 12
Kebencian itu; “Janganlah kebencianmu kepada suatu kaum mendorongmu berbuat melampaui batas kepada mereka – Al Maidah:2
Rasa senang merusak itu; “Janganlah berbuat kerusakan di bumi” – Al-Baqarah: 11
Rasa angkuh itu; “Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong” – Al Isra: 37

Lagipula, surga juga belum tentu milikmu. 



Total comment

Author

Unknown

0   komentar

Cancel Reply