Formulir Kontak

 

BOLA, AGAMA DAN DRAMA KEHIDUPAN



 Source Picture : Google
                                                              
            Tak pandang maka tak sayang, begitulah wujud kecintaan manusia terhadap bola.  Penjudi yang memasang harga dari ribuan sampai miliar ada,  barang – barang orisinil dan palsu juga tersedia, pertanda latar belakang penggemar yang berbeda-beda. Dari miskin sampai kaya, yang berkulit putih atau hitam, yang beragama ataupun tidak semuanya mencintai bola. Ketika ada sebuah laga, semuanya berseragam sama. Berpiala atau tidak itu bukan persoalan, yang penting hasrat kegemaran terpuaskan.

            Sewaktu kecil,  ketika tayangan piala dunia hanya disiarkan lewat parabola, rumahku menjadi tempat bergerombolnya para tetanggaku secara rutin untuk menonton bola bersama-sama. Tak bohong, dari sana aku mulai menyukai bola. Dari kehangatan, kekompakan dan teriakan yang meledak-ledak. Tapi aku tak memutuskan mendukung klub mana, yang kutahu hanya siaran piala dunia tayang lima tahun sekali. Dasar aku wanita, tak dipungkiri juga kesukaanku melihat ketampanan pemain Inggris berseragam putih yakni Michael Owen menjadi prioritas keduaku menyukai bola. 2002? Jika kuhitung mundur, saat itu usiaku masih delapan tahun. Tak mengerti apa-apa selain melihat sekumpulan orang yang bermain asal tendang, tak tahu apa itu arti kandang ataupun tandang. Jadi wajarkah bila alasanku menyukai bola masih memalukan diumur delapan? Iya, gerombolan tetangga dan Michael Owen.

            Usai piala dunia, aku kembali pada rutinitasku yang biasa. Bermain barbie, masak-masakan dan permainan-permainan lain yang tergolong feminim lantas tidak membuatku tertarik kembali pada bola, bagiku itu adalah permainan untuk laki-laki. Kesukaanku terhadap bola saat itu hanya berlaku temporer.

 Waktu berlalu, siaran piala dunia tahun 2006 kembali berderu. Mendadak hasrat pada bola kembali muncul, namun ada pembeda, kini aku mulai mendukung salah-satu negara. Akhirnya aku punya jagoan baru, yakni Inggris! Aku mulai mengenal perasaan ingin menang, rela begadang dan juga merengek minta dibelikan jersey Inggris bertulisan Owen. “Aku tak mau tahu, pokoknya aku mau itu!” Tukasku pada Papahku. Percaya atau tidak, Papahku yang saat itu berwirausaha dibidang kaos,  membelikanku jersey Inggris dari pasar dan menyablon sendiri tulisan Owen untukku. Hingga akhirnya aku memiliki jersey pertama ditahun 2006. Sayang sekali tak ada kamera yang mengabadikan dan hanya ingatan yang menjadikannya kenangan.

            Lain cerita, kelas satu SMA adalah waktu dimulainya perasaanku pada Persib Bandung. Jika Michael Owen adalah orang pertama yang membuatku jatuh cinta terhadap bola, berbeda dengan SMA, aku menaruh rasa terhadap seniorku yang kelas tiga. Dia fanatik Persib. Dia menceritakan sejarahnya dengan panjang lebar di sms. Aku mulai menyukai Persib dan seketika punya musuh baru, yakni salah satu klub bola di Jakarta. Aku dikenalkan menonton bola bersama digedung yang besar untuk pertama kalinya. Bagaimana rasanya? Sama persis dengan pertama kali jatuh cinta karena gerombolan tetangga sewaktu menonton piala dunia. Mungkin saat itu hormon dopaminku menjadi pemenang  dan penenang dibanding hormon oksitoksin karena stress dengan dunia persekolahan.

Seingatku, skor 2-2 antara Persib dan Persija adalah skor akhir ketika aku menonton bersama seniorku. Sambil mengenakan kaos bertuliskan Persib nu Aing, Persib jiwa raga kami, sorot mataku menatap semuanya bersedih karena dua gol berhasil dimasukkan Persija dimenit – menit terakhir. Namun kami semua tetap bergembira sambil berpawai mengelilingi Garut kota. Aku ketagihan menonton Persib secara akbar. Aku cukup nakal menghabiskan uang jajan untuk menonton bola lagi dan lagi setiap ada event Persib melawan Persija atau Arema lewat layar lebar digedung besar itu. Suatu ketika ada kawanku  yang membawa drum kecil, aku mencobanya dengan asal ketuk, “Woles, bodo amat” begitu kurang lebih pikiranku walau nadanya tak beraturan saat memukul drum dengan kedua stick sambil berteriak-teriak lagu Persib mengikuti arahan dari MC. Sungguh aku menikmati suasana itu. Persamaan dan Kekompakan. Aku menemukan dua nilai itu dibalik lautan biru. Prok prok prok!

Inggris, Persib dan Tim Nasional PSSI. Sampai saat itu yang kuingat aku hanya menyorakkan dukungan untuk ketiga tim itu. Suatu hari, aku tertidur di sofa ruang keluarga dan ditengah malam aku terbangun. Samar-samar aku melihat kakak ipar dan juga nenekku sedang asik menonton bola. Aku coba mengucek mataku, saat kuarahkan mataku pada layar kaca, tiba-tiba ada tendangan terbaik yang pertama kali kulihat. Siapakah dia? Lionel Messi. Dengan angka sepuluh seperti bulan kelahiranku, aku jatuh cinta terhadap permainannya. Sejak saat itu aku memutuskan menyukai Barcelona. Aku mulai berkamus pada google, menghapal nama pemain, sejarah dan juga cerita lainnya mengenai Barcelona. Lagi-lagi punya lawan baru lagi, Real Madrid. Aku kadang tak mengerti mengapa aku sendiri jadi ikut-ikutan sebal padahal bertatap dengan Ronaldo saja tak pernah. Dari putih abu hingga saat ini, juga hingga nantipun aku tidak akan move on dari klub ini.         Seolah itu sudah mantap menjadi ketetapan batin.

Dari sepenggal cerita diatas, pikiranku dengan liar ingin sedikit menyamakan bola dengan kehidupanku. Seolah tiba-tiba ada lantunan ayat berbisik “Lakum dinukum Waliyadin”, Bagiku Agamaku, dan Bagimu Agamamu. Menjadi manusia yang beragama atau tidak sama persis ketika dirinya memilih salah satu klub bola jagoannya. Alasannya berbeda-beda, ada karena turunan ada pula karena pilihan, ada karena jatuh cinta pada ajaran atau ada pula karena ajakan.  Itu sama dengan alasanku yang berbeda-beda dalam menyukai bola, entah karena sorak tetangga, senior kelas tiga, atau karena Messi berlaga. Tapi kutarik kesimpulan, bahwa setiap kejadian ada alasan. Ketika kita menetapkan pilihan selalu ada alasan. Mau rumit atau tidak, mau memalukan atau tidak, tapi tetap saja ada sebuah alasan. Apakah alasan itu harus dihargai? Aku rasa orang cerdas akan berkata ya, menghargai setiap alasan dan keputusan setiap orang untuk mengambil jalannya masing-masing, selama tidak merugikan orang lain itu adalah hal yang bijak.

Dalam permainan bola kita mengenal aturan seperti 90 menit pertandingan, batas in dan out, wasit memiliki hak memberi kartu kuning/merah jika ada pelanggaran, dan juga banyak aturan main lainnya yang aku rasa semua penonton bola lebih dari sekedar tahu. Begitupun, agar setiap agama yang berbeda-beda hidup berdampingan maka dibuatkan aturan, semuanya memiliki hak beribadah tanpa ada gangguan dari satu pihak ke pihak yang lain. Fair play? Ya, jika semuanya taat pada aturan. Bagaimana jika ada yang merusak? Aturan harusnya berbicara, ada sanksi tegas bagi pelanggarnya. Jika ada rumah ibadah yang dirusak, ya harus dihukum. Bagiku pemerintah adalah FIFA yang memiliki daulat untuk menjaga masyarakatnya sejahtera .dan aman ditanahnya sendiri. Aturan itu harus universal, tak memihak Madrid atau Barcelona. Begitupun, tak memihak Islam, Kristen, ataupun agama lainnya, tapi harus universal bagi semua keyakinan sebagai manusia.

Barcelona dan Real Madrid punya sejarah sedikit kusut, begitupun antara Persib dan Persija. Begitupun klub lainnya, mungkin.  Bagaimana pengikutnya? Saling menghujat. Padahal mereka hidup diabad yang berbeda dengan konflik itu dimulai. Begitupun sejarah juga mencatat ada beberapa perang agama. Bagaimana pengikutnya kini? Jika aku scroll pada bagian komentar pada tayangan youtube yang berbau SARA ada saja lontaran saling menghujat. Aku rasa Hegel menjadi juara dengan sedikit filsufnya dengan mengatakan sejarah mengajarkan bahwa manusia memang tidak belajar dari sejarah. Lebih heran lagi, seolah terjadi pembiaran. “Ah politik!” Caci makiku.

Semakin aku fanatik pada Barcelona, semakin percik pula makianku pada Real Madrid dan juga pendukungnya, aku tahu itu salah hehe, tapi aku coba memposisikan diriku pada fanatik agama yang senang menghujat agama dan keyakinan lainnya karena terlalu memuja keyakinannya sendiri benar. Ada? Coba tanya pada kehidupan.

Intinya, aku percaya bahwa semua agama dapat hidup saling berdampingan. Selama tidak ada paksaan, selama semuanya menatap masa depan bukan masalalu yang kelam. Aku harus mulai menjabat tangan dan meminta maaf pada penggemar Real Madrid dan Persija sepertinya atas perbuatanku. Kuharap dunia aman dan sentosa dengan perilaku manusia yang saling menghargai, mengayomi dan penuh toleransi. Aku rasa Tuhan tersenyum jika melihat ciptaannya saling tersenyum satu sama lain. Ya, aku harap dunia dan kehidupanku baik-baik saja. Memanusiakan manusia adalah tugas sesama manusia.

  

                                           

Total comment

Author

Unknown

0   komentar

Cancel Reply