Apabila dahulu
perang membutuhkan strategi mengayuhkan pedang, bagi saya saat ini pedang
tersebut berbentuk smartphone dan
kuota internet. Sudah biasa dalam kehidupan sehari-hari kita melakukan ritual adu
kepala begitupun mental dengan postingan-postingan yang muncul di semua media
sosial. Kita dapat bersahabat karib dengan orang baru yang tidak dikenal hanya
karena kita memiliki interest atau
paham yang sama dengan orang tersebut. Kita dapat bermusuhan dengan orang baru
yang tidak dikenal hanya karena pemikiran, kehadiran atau bahkan sikap mereka
mengusik ketenangan kita yang cukup kontras berbeda dengan mereka. Fatalnya,
bisa saja perbedaan tersebut mengarah pada permusuhan nyata dengan teman atau
keluarga yang kita kenal. Sudah ada beberapa kasus, semisal salah satu aktris
yang saya malas sebutkan namanya, berujung bermusuhan secara terbuka dengan adiknya sendiri hanya karena berbeda
pandangan politik. Tak elak, saya membayangkan orang-orang yang sengaja menciptakan
konflik ini tertawa terpingkal-pingkal melihat kondisi negeri seperti ini. Kita
bisa saja tiba-tiba memusuhi orang yang tidak kita kenal, yang entah dia itu
siapa, darimana, anak siapa, berjumpa saja belum pernah, oleh satu alasan : hanya
karena orang tersebut mendukung tokoh yang kita tidak sukai. Kita terbiasa
menyerang atau menyanggah mereka yang berbeda dengan kita dengan melayangkan argumen-argumen
kita yang maha cerdas atau kesucian kita yang seolah paham betul isi satu Kitab
Suci. Padahal tidak dipungkiri, bisa saja ilmu kita hanya bersumber dari Maha
segala sumber keyboard warrior yakni: Syekh Abu Google. Bersyukur kalau
informasi atau sanggahan yang kita berikan adalah berupa kebenaran. Tapi kalau
yang disebar justru hoax hanya demi keegoisan
primitif agar argument kita menang? Itu adalah keegoisan menyesatkan. Padahal
mengatakan tidak tahu atas hal yang memang benar-benar tidak kita tahu tidaklah
memalukan. Kita saat ini terlalu takut untuk berani mengakui “saya tidak tahu dan
tidak mengerti”. Kalaupun ada yang mengatakan tidak tahu, seharusnya kita
merespon dengan mengapresiasinya bukan menghinanya.
Kita membentuk kubu untuk berperang. Itu untuk
ego kita pribadi yang ingin paham atau nilai yang kita anut dimenangkan.
Padahal kenyataannya, siapalah kita selain hanya sebagai objek yang dikoyak
habis emosi dan pikirannya untuk memenangkan kepentingan beberapa pihak yang
biasa kita bela. Kita tidak lagi dibentuk dan berkumpul dalam satu tim perang
seperti dalam film-film kolosal yang berlatih bersama cara berlari dan mengayuh
pedang. Kita berkumpul dalam grup-grup Whatsapp/line yang isinya gibah-menggibahkan betapa bigotnya seseorang atau sebuah kelompok.
Atau di sebrang lainnya gibah-menggibahkan menghakimi dengan derasnya betapa
kafir atau ahli nerakanya orang atau sebuah kelompok. Atau bisa jadi kita
tinggal dalam grup yang menjadi medan perang yang dengan beringasnya penuh
dengan perdebatan yang tidak memiliki titik temu selain berakhir perang dingin.
Grup-grup media sosial ini berdampak besar di dunia nyata. Lihat saja, aksi bela agama menuntut Ahok begitupun disebrangnya
ada aksi nyala lilin untuk Ahok terselenggara dengan mewahnya menghiasi semua
timeline begitupun berita di layar kaca. Bagi saya, itu adalah dampak besar buah
kehadiran ne-ti-jen dan media. Bukan
hanya di kalangan anak muda, saya juga melihat grup whatsapp punya ibu dan bapak saya, broadcast provokatif tak
berhentinya mengalir entah dari grup alumni SMP, SMA atau kuliahnya. Kita semua
adalah seorang buzzer gratisan.
Jenis orangpun
berbeda-beda, ada yang memang berani bicara adapula yang memilih diam. Keberanian bicara di media sosial dapat
berdampak pada respon-respon berupa dukungan, kritik, atau parahnya bisa
mencapai ancaman. Keberanian bicara seseorang sebagai seorang keyboard warrior adalah pahlawan di era
digital. Ada juga yang menjadi silent
warrior yang suaranya terwakili oleh orang yang bicara tersebut. Silent warrior ini memberikan
dukungannya melalui fitur like/share. Ada juga yang memang hanya menjadi pengamat.
Di tengah arus panasnya perdebatan politik, si pengamat ini dengan santainya menyebarkan
sebuah pesan bahwa bumi itu datar. Subhanallah.
Itu diatas
adalah suasana yang saya amati saat ini. Tapi satu hal yang saya paham, bahwa
yang kita bela juga hanyalah objek dari nilai-nilai yang kita anut. Sebetulnya,
mungkin kita tidak sedang membela satu sosok, tapi kita sedang membawa dan
membela nilai yang dibawa dan dihadirkan oleh sosok tersebut. Sayangnya, tidak
ada yang baik dari kefanatikan dan kebencian. Kefanatikan bisa berdampak pada
membabi-butanya membela dan mencintai seseorang dan menjadi anti-kritik apabila
ada yang salah dalam tokoh tersebut. Sedangkan disisi lain, kebencian juga
berdampak pada membabi-butanya membenci dan tidak mampu melihat kebaikan dalam
sosok tokoh tersebut. Bukankah sesuatu yang berlebihan itu tidak baik? Dalam
pandangan saya, tidak ada yang salah dalam membela satu tokoh yang mungkin
merepresentasikan nilai-nilai dalam diri kita, asal apabila dia memang salah
kita berani mengatakan bahwa dia salah. Begitupun sebaliknya, keberanian kita
untuk memuji atau mengapresiasi tokoh yang kita benci ketika dia melakukan hal
yang benar atau baik seharusnya ada. Sifat objektif dalam menilai tokoh ini
menurut saya cukup hilang dalam sebagian besar tubuh dan arwah netizen. Kita
merasa kalah dan takut dihadang apabila mengakui bahwa dalam isi tubuh seseorang
yang kita bela ada cacat. Padahal, siapapun ia, semulia apapun tokoh yang kita
bela adalah seorang manusia. Bukannya itu menjadi sebuah syirik apabila kita menuhankan manusia karena kita terlalu memuja? Padahal
bagi yang percaya bahwa Tuhan ada, kesempurnaan hanya milik Tuhan Semata.
Tapi satu hal
yang sangat saya khawatirkan di era ini adalah : kehilangan adab dalam mengkritik atau menasihati. Pernah saya
disuruh lepas hijab, disuruh memperdalam agama, disuruh diam, diberi cap/label,
atau diberi nasihat-nasihat pasca saya memilih bicara atau berpendapat. Lebih sialnya, ucapan tersebut keluar dari orang yang saya
tidak kenal. Bagi saya itu bukanlah sebuah nasihat melainkan sebuah
penghakiman. Mungkin hal ini tidak hanya dialami dan diamini oleh saya, tapi
juga dirasakan bagi orang-orang yang biasa bersuara. Entah kita dihakimi secara
fisik, secara pikiran, atau perbuatan. Bagi siapapun, tidak ada yang mengenakan
dari diberikan penghakiman. Ini sebetulnya point utama saya menulis ini, ingin
mengembalikan marwah beradab dalam mengkritik dan menasihati.
Menasihati
adalah bentuk/upaya dari kita dalam rangka menanamkan kebaikan bagi yang
dinasihati. Pertama, ingatlah bahwa Imam Syafii pernah berkata bahwa menasihati
dengan sembunyi-sembunyi adalah sebetul-betulnya nasihat. Sedangkan apabila menasihati
dengan terang-terangan berarti ia telah mempermalukan atau memburukkannya. Kita
mungkin terpancing untuk menasihati seseorang yang salah menurut kita di kolom komentar, entahlah menasihati
apanya, apa kamu yakin sedang menasihati bukannya mempermalukannya karena
menyorot kekurangannya secara terbuka? Kalaupun kamu memang benar-benar “kekeuh”
ingin menasihati bukankah akan lebih bijak apabila nasihat yang bersifat
sensitif tersebut disampaikan secara pribadi dengan baik-baik secara personal? Dan terdapat perbedaan yang jelas apabila kita memberikan argumen diatas argumen dengan menyerang personal si pembuat argumen. Silahkan mengkritisi argumen yang diberikan oleh pembuat postingannya secara publik, itu adalah konsekuensi logis dari berpendapat. Berbeda dengan menasihati yang konteksnya menyerang pembuat argumen. Dalam yang sama kita sering dijamu dengan postingan mempertontonkan
keburukan orang lain. Bahkan sampai viral? Bagi beberapa konteks, hal tersebut
adalah bentuk penghinaan. Contoh kecil, apabila kita di dalam transportasi umum
seperti busway, sudahkah kita terlebih dahulu menegur orang yang tidak
mempersilahkan kursi duduknya kepada Ibu hamil/lansia/difabel sebelum memotret dan menyebarkannya? Ketika ada yang membuang
sampah sembarangan, sudahkah kita juga memperingatinya secara diam dan baik
terlebih dahulu sebelum memotret dan menyebarkannya? Kita tidak tahu hal tersebut
bisa saja berdampak pada depresi dan diasingkannya secara sosial bagi yang telah kita jelekkan secara viral di kehidupannya. Terlebih rasa malu yang ditanggung oleh keluarganya
karena membuat mereka dimusuhi seantero raya (netizen). Dan tanpa kita sadari,
seringkali ikut menyebarkan keburukannya. Posisinya dibalik saja, bagaimana apabila kita sendiri adalah orang yang dijelekkan secara massal tersebut?
Kedua, adalah
cara menyampaikan nasihat. Satu hal yang perlu ditekankan bahwa pemberi nasihat
tidak pernah punya hak memaksa
kepada yang dinasihatinya. Contohlah, kamu mau mengajak seseorang berjilbab,
silahkan, tapi sampaikanlah dengan contoh dan cara yang baik. Sekalipun yang diajak pada akhirnya menolak
untuk berjilbab, kelar, kamu tidak
punya hak untuk memaksa-maksa apalagi sampai mensumpah-serapahi mereka. Dalam
agama tidak ada paksaan bukan? Hargailah pilihan yang kamu nasihati. Tugas Nabi
Muhammad SAW begitupun para Nabi lain sejak dahulu juga hanyalah menyampaikan, baik menyampaikan secara
lisan atau perbuatan. Tapi kenapa kok saat ini rasa-rasanya banyak yang
melangkahi Nabi atau Tuhan, seolah sudah tahu nasib seseorang bakal berujung surga
atau neraka. “Dia pelacur, sudah pasti
masuk neraka!!” Kamu seorang penimbang amal di akhirat? Tidak ingatkah kamu
kisah seorang pelacur mendapat surga karena perbuatan kecilnya menolong seekor
anjing yang kehausan di hutan? Ingatlah yang tau catatan kebaikan dan keburukan
seseorang dan memantaunya setiap saat itu hanya malaikat. Kamu mungkin begitu
nyamannya mensumpah-serapahi orang yang kamu anggap kafir, orang yang bunuh
diri atau LGBTQ+ atas dosa-dosa mereka. Memang secara agama itu dosa, kita tahu
dan paham itu, dan mungkin tidak melakukan dosa tersebut. Tapi dalam kedudukan kita
sebagai manusia kita juga adalah pendosa dengan cara yang lainnya. Tuhan juga
tidak suka orang sombong, orang-orang yang senang mencela, senang berbohong dan
senang berprasangka. Apa timbangan amal kita sudah pasti lebih baik dan
diterima daripada orang-orang yang kita hakimi? Apa kita benar-benar tahu bahwa
bisa jadi mereka yang kita hakimi telah berdosa besar meminta ampun kepada
Tuhannya setiap malam dengan tulus berkali-kali tanpa kita ketahui? Apa kita
tahu masa depan seseorang yang kita anggap berdosa besar? Padahal, kita dapat
menolak lupa bahwa Umar ra yang pernah berniat membunuh manusia semulia
Rasulullah SAWpun pada akhirnya menjadi pengikut paling setia. Bagi saya, silahkanlah
menasihati, mengajak seseorang pada kebaikan, itu hal yang baik. Tapi jangan
lupa bahwa niat baik haruspula diiringi dengan cara-cara yang baik. Karena
dalam nasihat yang baik tidak ada penghakiman dan pemaksaan. Jangan terpelatuk ya, saya tidak
membenarkan perilaku-perilaku yang salah, hanya saya menolak menjadi seorang
hakim bagi manusia. Apalagi membenci seseorang tanpa berkaca bahwa saya sendiri
adalah pendosa.
Ketiga, dalam
nasihat yang baik ada kerendahatian. Posisi antara kita dengan yang dinasihati
haruslah sejajar. Bagi saya ini penting. Bahkan sebelum menyatakan kesalahan
orang lain, ada baiknya kita sendiri terlebih dahulu mengatakan kesalahan diri
kita sendiri. Kita bisa berakhir bilang “yuk kita
ke arah yang lebih baik bareng-bareng
biar semangat” bukan nasihat yang terselubung dengan pesan kesombongan yang
tersirat “saya sudah baik, kamu salah dan
kamu harus mengikuti saya”
Keempat,
nasihat harus terlebih dahulu diberikan kepada diri sendiri sebelum kepada
orang lain. Pastikan bahwa sebelum nasihat itu disampaikan, kamu sudah
benar-benar berlaku secara perbuatan atas nasihat yang kamu berikan kepada
orang lain. Ataupun jika belum, kamu menerima dengan kerendahatian apabila
diingatkan. Karena kadang, kalau kamu sudah jadi contoh terbaik, orang-orang dengan sendirinya akan mengikuti tanpa harus diingatkan.
Kelima, dalam merespon nasihat, we could say “thankyou” to those people who
give us some advice. Kita tidak perlu bilang bahwa mereka so suci, so baik, so bijak dll. Just say
thank you and that’s enough. Kita butuh intropeksi juga bukan sebagai manusia? Kita punya pilihan untuk menerima atau menolak nasihat tersebut. Yes we have, but still, ga ada yang salah untuk berkata terima kasih.
Keenam,
tulisan ini adalah semata-mata nasihat yang diutamakan untuk saya pribadi yang pernah, sempat dan sering banyak membuat kesalahan dalam berinternet. Sayapun tidak anti kritik apabila ada yang memang perlu dikoreksi.
Terima kasih
dan Selamat berpuasa!