Formulir Kontak

 

Lupa Menjadi Manusia

Belakangan ini, saya terbiasa menyenangkan diri saya sendiri dengan label perempuan kuat. Saya selalu mengingatkan diri saya sendiri akan pencapaian keberhasilan melalui masa-masa krisis. Menyenangkan pula mengingat bagaimana kegagalan adalah pijakan pada pola pikir yang mendewasakan. Terlebih bagaimana semua luka menumbuhkan empati.

Saya tidak senang memperlihatkan kelemahan, terlihat lemah dan terlihat sedih.  Tidak menyenangkan rasanya dikerdilkan dan dianggap lemah. Saya pernah dengan percaya dirinya menulis dalam status Facebook saya, bahwasanya saya sudah bodo-amatan dengan apa yang orang lain katakan terhadap saya. Saya yakin, ada banyak orang-orang yang memiliki sikap ini, sehingga saya memilih menggunakan diri saya sendiri sebagai subjek tulisan.

Tulisan ini adalah mengenai orang-orang yang terbiasa memprioritaskan orang lain diatas dirinya sendiri. Selalu ingin terlihat kuat sampai-sampai mengakui sedang lemah terasa sebagai suatu kesalahan. Selalu ingin terlihat kuat karena ia terbiasa diandalkan ketimbang mengandalkan. Meminta tolong dianggap suatu hal yang merepotkan. Menganggap dirinya tangguh seolah akan mampu bahagia  tanpa rasa bergantung pada siapa saja. Bukan bodoh, hanya saja meletakkan kebahagiaan orang lain sebagai tumpuan kebahagiaan dirinya sendiri adalah suatu pilihan. Jangan ditanya mengapa, kita juga tidak tahu. Adalah suatu kesulitan bagi orang-orang ini membedakan mana egois dan mana kelayakan mencintai diri sendiri.

Tapi hari ini saya sadar bahwa saya kurang memanusiakan diri saya. Saya ternyata masih bisa terluka mendengar kata-kata yang menyakiti. Saya masih bisa bersedih dan takut apabila mengingat hal-hal yang membuat saya trauma. Disisi lain saya juga  bisa marah. Saya bisa menangis. Saya bisa kecewa. Saya bisa butuh orang lain. Saya butuh didengarkan. Saya juga bisa tidak tidur hanya karena memikirkan hal sepele. Saya ternyata masih takut dengan luka yang sama. Terakhir, saya juga masih bisa menulis hal-hal seperti ini sebagai keberanian untuk bicara.

Hal-hal yang saya sebutkan diatas tidak lantas menjadikan saya lemah dan masih lemah, tetapi sebaliknya, itu menunjukan bahwa saya juga seorang manusia. Sama seperti pertahanan fisik yang kadar imunnya naik turun, mentalitaspun demikian cairnya.
Saya membenci dengan tebak-tebakan manusia pseudoscience “orang-orang yang ceria tuh biasanya menyembunyikan kesedihannya”. Iya, bisa saja dalam beberapa situasi. Tapi tertawa juga bisa jadi sebuah ekspresi kejujuran atas kebahagiaan. Bukan semata-mata menutupi kesedihan. Sayapun benci dengan bentuk respon ketika memperlihatkan kesedihan atau kelemahan, maka label kuat saya bisa hilang sekejap saja. Tapi yasudahlah, sikap atau respon orang lain bukan suatu hal yang bisa saya atur.

Padahal saya juga manusia, punya siklus yang sama soal bahagia dan terluka. Sama halnya dengan stigma yang melekat dengan orang-orang yang dianggap sensitive, mereka juga sebetulnya sama-sama bisa bahagia.

Saya saat ini sadar, bahwa kekuatan saya justru timbul atas pengakuan bahwa saya tidak sehebat konsep “kuat” yang digaungkan kebanyakan. Saya punya konsep baru bahwa manusia kuat juga harus menangis, harus terluka, harus berani meminta tolong saat dirinya butuh pertolongan, harus istirahat ketika dirinya kelelahan.

Menjadi manusia kuat bukan karena menipu kesedihan yang menimpanya, menjadi pura-pura utuh saat sedang terpecah belah. Tapi justru merangkul kesedihan sebagai bagian dari dirinya. Merangkul kecewanya sebagai manusia. Merangkul sisi lemahnya sebagai individu yang bukan hanya dapat menolong, tapi juga butuh pertolongan. Merangkul sisi manusianya yang juga sama-sama ingin dimengerti, selain hanya mampu mengertinya. Merangkul sisi manusianya yang juga butuh dicintai, selain hanya mampu mencintai.

Kesemuanya tidak menjadikan sisi kuat saya pudar.

Satu hal yang sampai saat ini sulit saya terapkan ke diri saya sendiri adalah kesadaran bahwa ternyata saya layak atas sebuah bahagia. Saya sadar saya sering terluka atas konsekuensi terlalu mementingkan orang lain diatas diri sendiri. Apa yang saya sebut pengorbanan ternyata seringpula tidak berbuah semanis yang saya ekspektasikan. Diatas itu semua, saya tidak menyalahkan siapapun selain diri saya sendiri. Saya tidak lagi harus memandang bahwa apapun yang membuat saya terluka adalah sebuah penghukuman yang memang saya layak terima.

Saya adakalanya bisa menjadi kekanak-kanakan dan tidak sedewasa tulisan-tulisan saya. Bisa juga saya sesekali melanggar prinsip-prinsip yang saya pegang. Saya juga seorang manusia yang punya kesalahan. Akan dan selalu membuat kesalahan. Ada kalanya saya menjadi sangat mulia, ada kalanya saya membuat bencana. Ada kalanya kepekaan saya terhadap orang lain seolah mati. Ada kalanya sisi pengertian saya hilang. Ada kalanya sayapun berbohong.

Tapi kesalahan-kesalahan itu tidak lantas mencabut kebaikan dalam diri saya. Saya sadar bahwa sikap saya yang ingin orang lain bahagia masih selalu terbenam dan berusaha dipelihara dalam diri saya. Meskipun saya sering kecewa, tapi saya menolak berhenti menjadi manusia yang ringan tangan dalam berbagi.

Bisa saja orang mengingat betapa baiknya saya, karena memang ia dipertemukan dengan saya ketika kondisi saya baik. Bisa saja orang mengingat betapa buruknya saya, karena memang ia dipertemukan dengan saya ketika kondisi saya sedang buruk.
Saya harus dapat menerima, sebagai manusia, bahwa dibenci dan dicintai adalah bagian kehidupan. Walaupun saya ada yang membenci, tidak lantas itu membuat saya tidak berhak atas hidup.

Adalah suatu kebolehan bagi manusia-manusia kuat seperti saya untuk juga bisa menangis ketika ia dikhianati atau ditinggal pergi. Adalah suatu kebolehan bagi manusia-manusia kuat seperti saya untuk bisa juga terluka atas ekspektasinya sendiri. Adalah suatu kebolehan, sesekali untuk berhenti terbiasa menyalahkan diri sendiri. Adalah suatu kebolehan bagi manusia-manusia kuat seperti saya bahwa untuk sementara memprioritaskan diri sendiri diatas orang lain bukanlah suatu dosa.

Saya adalah manusia bahagia.
Perempuan bertanamkan luka.
Senang menangis, senang pula tertawa.
Tapi satu yang selalu ada.
Saya tak pernah berhenti bangkit walau kerap jatuh ke lubang yang sama.

Total comment

Author

Unknown

0   komentar

Cancel Reply