Formulir Kontak

 

Menjadikan Dunia Menjadi Tempat yang Nyaman untuk Disinggahi

Saya punya sifat altruism yang cukup tinggi. Itu adalah suatu kelebihan, tetapi ada kalanya itu bisa menjadi boomerang untuk diri sendiri. Saya selalu memahami bahwa menolong orang lain adalah suatu hal yang baik, bahwa menolong orang lain adalah jalan untuk meraih kebaikan dan keberkatan, bahwa menolong orang lain akan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.

Saya sadar ketika dulu saya mengalami fase-fase terpuruk betapa saya butuhnya kehadiran orang lain. Saya sadar saya membutuhkan banyak asupan “ayo semangat, kamu bisa” dsb. Ketika dunia kerap menghujat dan menjatuhkan saya, saya sadar bahwa yang saya butuhkan tak lain ialah apresiasi dan pujian. Maka saya selalu tahu harus berkata apa kepada orang lain, karena saya pernah ada di posisi mereka. Saya selalu memahami orang lain melalui kacamata ketika saya mengalami masa-masa dimana hidup begitu brengseknya.

Memiliki sifat empati adalah suatu keberkatan. Tidak ada keinginan sama sekali dalam diri saya untuk menyakiti orang lain. Sekali saya sadar bahwa saya salah dan berbuat kesalahan hal itu berakhir bahwa saya selalu sibuk mengutuk dan menyalahkan saya sendiri. Andai saja orang memahami bahwa apapun yang saya lakukan segalanya semata-mata karena tidak ingin menyakiti mereka. Andai saja orang memahami bahwa apapun yang saya lakukan semata-mata takut mereka terluka. Tapi mustahil menjelaskan satu-persatu, jadi yasudahlah hanya Tuhan yang tahu.

Little did they know that I’m lacking of love-self?

Bukan. Saya tidak merasa bahwa saya adalah orang baik. Tapi saya merasa itu adalah suatu naluri alami. Dan saya sadar, bahwa banyak orang-orang yang memiliki naluriah yang sama seperti saya.

Maka saya membagi golongan manusia menjadi dua, mereka adalah sang “giver” dan sang “taker”. Bisa saja seimbang. Tapi pasti ada yang mendominasi diantara keduanya.

Belakangan ini, baru pertama kalinya dalam hidup saya, sifat empati saya terasa demikian menjadi sebuah boomerang bagi diri saya sendiri. Saya tidak kapok menolong orang lain, sayapun disisi lain tidak merasa itu suatu hal yang buruk. Tapi seperti dua belah mata pisau, adakalanya itu melelahkan.

Jujur saja saya adalah orang yang terbiasa memiliki pandangan sangat positif terhadap hidup. Apapun bisa saya lihat dari suatu sudut pandang kelebihan. Bahkan hal terpurukpun bisa saya anggap sebagai pijakan penguatan. Vibe positives saya kuat. Pengalaman pahit saya menjadikan saya kuat. Saya tahu itu.
Tapi lain ceritanya ketika saya mendapat asupan energi negative yang terlalu banyak. Ketika asupan cerita-cerita buruk terlalu banyak mengisi kepala saya. Saya jadi skeptis memandang sesuatu.

Saya merasakan apa yang orang lain rasakan.
Saya juga memikirkan apa yang orang lain pikirkan.
Bisa dibayangkan? Rasa sakit orang lain menjadi bagian dari rasa sakit saya.
Pahamilah bahwa ketika saya menulis ini, bukan satu-dua-tiga orang saja yang telah saya tangani. Tapi banyak, sudah tak terhitung dengan jari.

Bukan, saya tak bangga dengan pencapaian itu. Tapi, ini adalah dampak dari suatu kondisi ketika berbuat sesuatu tanpa sadar dengan kapasitas diri.

Ibaratnya, toplesku pribadi hanya mampu menampung beban dan menolong 5 cerita negatif, tapi saya menampung 50 cerita negative. Lalu itu meledak dan racun tersebut menggerogoti banyak nilai dan pandangan dalam diri saya yang biasanya sangat kuat. Lalu ketika saya berkata saya lelah, saya dianggap lemah orang-orang nirempati yang enggan mengerti.

Saya roboh. Saya ingin memulihkan diri saya sendiri kembali.

Maka, melalui tulisan ini, saya ingin berbagi, barangkali ada yang sama-sama sedang mengalami. Terlebih, bisa jadi melalui tulisan ini, adalah suara saya sendiri kalau ada yang bertanya-tanya mengapa saya berubah, mengapa saya susah dihubungi, mengapa saya menjadi orang yang berbeda. Butuh keberanian yang tinggi bagi saya menceritakan ini. Tidak pernahkan saya berbagi keluhan seperti ini? Saya tipe memendam semua sendiri kecuali emosi itu membludak.

Sudah sering saya bilang kepada orang-orang, belajarlah untuk bicara. Belajarlah meminta pertolongan. Maka saya sedang menerapkan itu untuk diri sendiri.

Jawaban diatas semuanya, saya saat ini akan memasuki tahap pemulihan diri.

Disisi lain, saya tidak menyalahkan siapapun.
Ini adalah pelajaran berharga bagi saya pribadi kalau menumbuhkan self-awareness dan love-self adalah hal yang penting. Bahwa membahagiakan diri sendiri bukan suatu hal yang salah. Bukan suatu hal yang egois. Jujur sekarang saya sedang mengalami masa-masa krisis.

Saya sadar saya hanya manusia biasa. Saya bukan seorang “superwoman” yang pundaknya begitu lebar dan hatinya begitu kuat sebagaimana ekspektasi saya sebelumnya.
Saya perempuan kuat. Tapi kekuatan tersebut serasa rontok. Sayapun memahami, jeritan saya serasa akan diabaikan dunia. Tidak semua orang memiliki sifat empati, pengertian dan mau menolong. I’m enough with my own expectation about that.

Saya memahami betapa banyak orang yang kecewa ketika mereka menceritakan masalahnya. Karena memang dunia tidak dihiasi dengan orang-orang yang mampu mengerti. Tapi, ingin sekali saya bicara, bahwa orang-orang yang terbiasa memberikan pengertian juga sama halnya membutuhkan pengertian. Bahwa orang-orang yang terbiasa memberikan penguatan ada masanya lemah.
Maka kalau boleh saya beritahu, apabila kalian menemui orang-orang demikian, semangatilah mereka, bahagiakanlah mereka, berikanlah yang terbaik bagi mereka. Karena tanpa kalian sadari, orang-orang seperti itu selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi semuanya.

Saya paham bahwa keinginan dimengerti ini adalah sebuah kebutuhan. Tapi ketika kalian merasa sedang cukup, maka berbagilah itu pada yang kekurangan.

Saya enggan dikasihani pula. Berbeda sekali antara meminta pemahaman dan pengasihan. Saya gak suka dikasihani, hal tersebut menjustifikasi bahwa saya lemah. Saya lebih senang dipahami sebagai perempuan kuat, yang saat ini sedang merasa lemah.

Saya akan fokus pada pemulihan diri, mengembalikan jati diri, membangun kembali serpihan-serpihan dalam diri saya yang hilang.
Tolong jangan menasihati dan memaki saya,
“Makanya……..”
“kamu tuh makanya……”
These kind of words will kill me slowly.
Saya sudah melebihi dari tahu apa yang harus saya lakukan.

Just understand me enough. The helper also need a help.
Tidak perlu menasihati saya pula,
Ngapain saya ngomong gini? Karena tanpa kalian sadari, bahwa banyak ternyata yang sama-sama sedang mengalami hal yang saya alami. Saya hanya orang yang berani bersuara. Menyuarakan bagi mereka yang sama-sama sedang mengalami.

Belajarlah berempati pada manusia-manusia yang sering kalian minta-tolongi.
Dan semangatilah mereka.
Jangan menjatuhkan mereka.
Mereka adalah orang-orang yang terbiasa membangun. Kalau kalian sengaja merobohkan mereka, maka kalian menjadikan dunia bukan lagi tempat yang nyaman disinggahi. Ketahuilah bahwa setiap orang memendam cerita dan keluhannya masing-masing.

Mereka yang terbiasa menopang juga adalah manusia.
Maka, sekali lagi, tolong jangan hakimi saya melalui tulisan ini.

Terima kasih. Lagipula saya juga tidak tahu mengapa saya mau-maunya menulis ini.
Theory behind my condition : Compassion Fatigue, males jelasin, tapi kalo mau baca google saja. Sayapun akan diskusikan ke dosen saya pentingnya materi ini diberikan pada profesi pertolongan.

Segala hal ada dampak positifnya kan

Total comment

Author

Unknown

0   komentar

Cancel Reply