Formulir Kontak

 

Pencegahan Bunuh Diri dari Sudut Pandang Pekerjaan Sosial



Kematian Chester Bennington adalah pukulan keras bagi saya sebagai penggemarnya yang selama belasan tahun tidak pernah melewatkan suaranya dalam list mp3. Tak terelakkan berita kematian beliau membuat lebih dari dua jam air mata mengurai sembari bernostalgia mendengar album Hybrid Theory begitupun Meteora.
 
 Bunuh diri kian disorot lagi oleh media. Ketika itu saya lihat di Metro TV disajikan data-data mengenai mental illness, kata WHO satu dari empat orang memiliki kemungkinan terkena depresi. Seketika timeline saya di semua media sosial penuh membahas depresi, di satu sisi ada banyak yang mulai terbuka pikirannya perhal mental illness, di sisi lainnya kehadiran; stigma, judgemental begitupun bullying hadir mewarnai linimasa.

Kecintaan saya pada Chester, membuat saya terbuka hati membuka telinga bagi yang ingin didengar sekaligus menulis surat untuk orang-orang yang memiliki suicidal thoughts. Kadang saya merasa miris, orang-orang yang lari dan mengemukakan masalahnya kepada saya adalah orang-orang yang sama sekali tidak mengenal saya, sebaliknya sayapun tak mengenal mereka. Itu tak lebih dan tak kurang adalah pertanda ketika mereka memiliki trust issue kepada orang-orang di sekelilingnya. Bisa jadi mereka adalah orang yang pernah terbuka pada sekelilingnya, tapi sayangnya kehadiran sikap pengertian dan mendengar tanpa penghakiman sebagian besar tak didapatkan oleh mereka. Ini adalah kondisi yang perlu diperbaiki. 

Saya mempercayai satu hal, bahwa orang-orang yang bunuh diri bukanlah orang-orang yang ingin mengakhiri hidupnya, melainkan orang-orang yang ingin mengakhiri rasa sakitnya. Angka bunuh diri ini cukuplah tinggi, setiap empat puluh detik sekali ada satu nyawa yang meregang akibat bunuh diri. Angka bunuh diri ini bisa berpotensi naik dari masa ke masa.

Bila polisi mencegah orang jahat membunuh orang lain, lalu siapa yang bisa menjamin seseorang tidak membunuh dirinya sendiri? Siapa yang bisa mencegah seseorang menjadi kriminal bagi dirinya sendiri?

Melalui tulisan ini saya ingin memberikan sudut pandang pekerjaan sosial dalam memandang pencegahan bunuh diri.

Sebagai catatan singkat, pekerjaan sosial adalah bidang keilmuan yang memusatkan pandangan pada interaksi antara individu dengan lingkungannya. Baik individu ataupun lingkungannya satu sama lain saling mempengaruhi. Dalam pemberian intervensi, apabila psikolog/psikiater berfokus pada penyembuhan klien dengan mental illness, kalau pekerja sosial memberikan intervensi pada klien sekaligus lingkungan sekeliling klien. Bisa jadi pekerja sosial bekerjasama dengan psikiater/psikolognya untuk menangani seorang klien.

Saya beri satu contoh kasus fiktif namun sering terjadi untuk memudahkan.

Sebutlah ada perempuan bernama Asti. Asti bercerita bahwa ia mengidap depresi. Dia sudah sering mengunjugi psikiater dan mengkonsumsi secara rutin obat-obat yang diresepkan dokter kepadanya. Ia heran sekaligus mengeluh  mengapa depresi yang dideritanya selama dua tahun lebih tak kunjung mereda. Setelah dipetakan, ternyata sumber utama depresi Asti adalah lingkungan rumahnya. Asti tidak tahan dengan pola asuh ayahnya yang kerap berbicara seenaknya (bullying verbal), disisi lain ibu Asti adalah orang yang cenderung pasif membiarkan ketika ayahnya memberikan banyak ucapan negatif kepada Asti. Asti memiliki tingkat self-esteem yang rendah, karena depresi yang dideritanya ia memilih untuk tidak melanjutkan kuliahnya di tengah jalan. Disisi lain, Asti bukan orang yang terbuka pada pertemanan dan bingung untuk memulai dirimana untuk memulai hidup baru.

Dari gambaran kasus kecil diatas apabila psikiater berfokus pada penyembuhan depresi yang diderita Asti, maka pekerjaan sosial berfokus untuk memberikan intervensi pada Asti, sekaligus Ayah Asti begitupun Ibu Asti.  Peksos bisa membantu Asti memulihkan self-esteemnya, mendorong Asti berkuliah kembali begitupun pemberian intervensi semisal dengan memberikan pelatihan parenting kepada ayah dan ibu Asti. Tujuannya, supaya Asti bisa berfungsi secara sosial.

Ini hanya kasus fiktif, tentu saja jenis intervensi yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan klien. Karena apabila sumber depresi Asti (lingkungan keluarga) tidak diperbaiki maka sebetulnya depresi yang diderita Asti bisa jadi kerap timbul secara berulang.

Kembali lagi, apabila bicara bunuh diri, sebetulnya bunuh diri adalah hasil akhir. Ada proses panjang mengapa seseorang sampai memutuskan bunuh diri. Namun setidaknya, peran lingkungan memiliki andil cukup besar pada hidup seseorang. Lingkungan inipun beragam, bisa jadi lingkungan keluarga, lingkungan kerja, lingkungan pertemanan, sekolah ataupun lingkugan lainnya.

Pertanyaannya mengapa orang bunuh diri? Tentu saja jawabannya beragam dan tak dapat digeneralisir karena setiap orang memiliki alasannya masing-masing mengapa ia bunuh diri.

Saya mempercayai bahwa yang perlu berubah bukan hanya mereka yang memiliki mental illness, tetapi lingkungan di sekeliling orang-orang mental illness juga perlu berubah.
Kita perlu berusaha menciptakan lingkungan yang bisa mencegah bunuh diri terjadi. Berikut beberapa saran yang bisa saya beri terkait pencegahan bunuh diri.
1)      Menciptakan lingkungan yang empatik sekaligus non-judgemental di ranah keluarga.
Banyak diantara kasus bunuh diri karena diakibakan karena broken home. Karena kebutuhan orang yang memiliki depresi/anxiety adalah didengarkan, maka sebetulnya keluarga bisa membangun lingkungan empatik sebagai pencegahan bunuh diri paling utama. Tidak semua orang memiliki kemampuan mendengarkan untuk memahami, namun meski demikian hal ini dapat dilatih.
Untuk membangun ini dibutuhkan kesadaran bersama dari seluruh anggota keluarga akan pentingnya kedekatan dan kemauan mendengarkan satu sam lain.
Hal yang bisa sarankan terkait ini adalah bisa dibangunnya program keluarga “bincang satu jam sehari” untuk bertanya, curhat, membicarakan masalah begitupun mencari penyelesaian masalah bersama-sama.
Hal ini dapat membangun kedekatan, keterbukaan begitupun kepedulian satu sama lain antar anggota keluarga.
Disisi laian, apabila rumah terasa rusak maka tak ada salahnya meminta bantuan professional seperti pekerja sosial atau psikolog keluarga untuk diberikan intervensi.

2)      Pengaturan lingkungan kerja yang ramah pada mental pekerjanya.

Tekanan tinggi pada pekerjaan bisa jadi berpotensi memicu pada bunuh diri. Oleh karenanya kebijakan jam kerja, upah minimum yang adil begitupun relasi sehat antar pekerja turut andil dalam mengurangi tekanan mental pada pekerja. Selain itu, idealnya perusahaan memiliki HRD yang bertugas di bidang konseling sebagai fasilitas bagi pekerjanya untuk melepas penat/stress.

3)      Lingkungan Sekolah Bebas Bullying

Jumlah remaja yang melakukan bunuh diri, 40% diantaranya adalah diakibatkan oleh bullying, sehingga sebetulnya apabila sekolah sadar akan pentingnya hal ini maka hal tersebut bisa mencegah terjadinya bunuh diri di kalangan siswa. Selain itu fungsi BK seharusnya berjalan sebagai wadah bagi siswa untuk dapat berkonsultasi atas masalah yang menimpanya.
           
 Point-point di atas bersifat makro, karena setiap point bisa diuraikan kembali menjadi tulisan yang berbeda.
            Namun inti yang ingin saya jelaskan adalah apabila lingkungan kita ramah terhadap mental well-being, maka sebetulnya kasus bunuh diri dapat dicegah bersama-sama. Apapun yang kita lakukan ataupun ucapkan pada orang lain akan mempengaruhi hidupnya. Kepedulian satu sama lain adalah penting di zaman yang mulai individualis ini.
           
 Maka apabila ada yang ingin bercerita pada kita, dengarkanlah sepenuh hati. Jangan banyak memberi nasihat tetapi berikanlah banyak pengertian. Berikanlah banyak dukungan ketimbang memberikan banyak kritikan. Doronglah mereka yang merasa bermasalah secara mental untuk mendatangi psikiater/psikolog/pekerja sosial.
Saya memiliki harapan orang-orang yang memilih menjadi anonym seperti saya di media sosial untuk hotline bunuh diri tak lagi menjadi tempat pelarian untuk orang-orang berkeluh kesah, yang artinya mereka dapat mempecayakan cerita mereka pada orang terdekat mereka sendiri.
            Disisi lain paling utama adalah membangun awareness akan mental health ini masih menjadi tugas bersama saat ini. Apabila masyarkat sudah mulai aware dengan kesehatan ataupun penyakit mental, maka hal tersebut dapat membuka gerbong lebih lebar bagi setiap orang untuk tidak lagi memberikan stigma negative pada mereka yang memiliki mental illness.     

            Salam Indonesia sehat secara mental!

 

 


Total comment

Author

Unknown

0   komentar

Cancel Reply