Formulir Kontak

 

Orang yang paling ingin saya nikahi




            Saya menyukai orang yang tumbuh dari luka. Orang yang banyak tertempa. Orang yang menjadi penyintas. Orang yang paham rasanya menjadi korban lalu memilih bangkit dan membantu orang-orang dengan permasalahan yang sama dengannya di saat ia sendiri sudah kuat. Orang yang kuat bukan karena kasar dan menindas, tetapi karena belas kasihnya yang selalu berupaya memajukan dan membahagiakan orang lain. Orang yang pundaknya lebar karena terbiasa membaginya kepada mereka yang lelah menanggung beban hidupnya sendirian. Orang yang pikirannya begitu terbuka. Orang yang tidak diam saat ada sesuatu yang salah bergolak di depan matanya. Kalaupun sebelumnya ia adalah orang bebal, ia sempat merasakan penyesalan yang tinggi sampai ia memikirkan kesalahannya membuatnya tak layak hidup dan berakhir menebusnya dengan mengubah diri dari seorang pelaku menjadi seorang pelindung.  
            Orang demikian adalah orang yang tahu caranya menopang di saat kita jatuh. Orang demikian adalah orang yang akan menginspirasi kita untuk tumbuh. Orang demikian tidak membiarkan kita tinggal di belakang untuk kemajuannya sendiri karena ia paham bahwa hak untuk maju adalah kenikmatan yang harus dimiliki bersama. Orang demikian biasanya tahu apa yang harus dikatakan sekaligus dilakukan di saat kita membutuhkan pemahaman. Orang demikian paling tahu caranya membahagiakan. Orang demikian paling tulus dalam memaafkan. Orang demikian paling tau caranya menerima karena ia tahu betapa kerdilnya hidup tanpa penerimaan. Orang demikian memiliki kesabaran seluas semesta. Orang demikian adalah orang yang ketika menyakiti orang lain selalu dihantui perasaan bersalah hingga tak bisa tertidur dan berusaha bertanggung jawab dengan banyak cara. Orang demikian adalah orang yang kehadirannya perlu disyukuri berkali-kali, dan kepergiannya layak ditangisi berulangkali.
            Jiwa-jiwa ini tidak tumbuh melalui ijazah. Jiwa-jiwa ini tidak tumbuh dari genetika. Lucu bukan bila orang-orang kerap hanya bertanya soal kerja dimana, lulusan mana dan anak siapa? Padahal jiwa-jiwa ini hanya layak dipertanyakan dari cara terbentuknya melalui kesulitan, kegagalan, tangisan, kesepian, kesendirian dan pemaknaan yang hebat atas segala hal yang menimpanya.
            Saya berdoa dengan keras memiliki jiwa seperti itu. Saya akan bersikeras kepada diri saya sendiri untuk memiliki bentuk jiwa yang saya sendiri mampu cintai. Saya akan mencarinya, membenturnya hingga terbentuk seperti kata Tan Malaka. Tak lucu bukan menggantungkan diri pada orang lain untuk urusan ini?
            Saya menyukai orang yang memaknai bahwa cinta merupakan suatu perbuatan. Lagipula apa yang bisa diharapkan dengan cinta yang isinya hanya omong kosong? Kebanyakan janji, kebanyakan gombal, itu sampah. Cinta itu semestinya hadir melalui perbuatan. Sekali lagi, perbuatan. Dua kali lagi saya bilang, perbuatan-perbuatan. Apa yang bisa dipercaya ketika kita berbicara menyoal ketulusan selain daripada perbuatan?
Saya ingin memiliki pernikahan yang menginspirasi. Sebuah pernikahan yang saling menghebatkan dan menghormati satu sama lain. Pernikahan yang memaksa masing-masing untuk tumbuh dan mengangkat satu sama lain untuk naik ke podium bersama-sama. Pernikahan yang tidak hanya sekadar menyenangkan satu sama lain, tetapi bersatunya dua individu yang punya dedikasi tinggi pada kemanusiaan dalam segala bentuk. Pernikahan yang memandang bahwa mendidik generasi adalah tanggung jawab bersama. Pernikahan yang setiap saat mencari pengalaman hebat bersama. Pernikahan yang memiliki visi dan misi yang begitu besar sehingga hidup tidak begitu monoton atau terjebak dalam pernikahan yang isinya rutinitas tanpa makna. Pernikahan yang memiliki mimpi dan menghadapi secara gagah setiap keberhasilan dan kegagalan bersama untuk mimpi-mimpi itu. Bukankah pernikahan seperti ini akan terlalu sulit dilepaskan? Bukankah pernikahan seperti ini akan membuat kita berpikir ratusan kali untuk berkhianat? Bukankah pernikahan ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kejelasan hidup?
Latar belakang pendidikan dan keluarga menurut saya merupakan suatu yang dapat dikompromikan. Perbedaan karakter itu suatu hal yang dapat dimanajemen. Tapi kalau menyoal beda prinsip, pola pikir, iman sampai visi kedepan bagaimana cara menyatukannya? Orang yang sempurna itu takkan ada, tapi orang yang akan cocok dengan kita itu semestinya ada. Sulit mengajak orang yang memang enggan maju untuk maju.
Bukankah tidak lucu kalau menikah hanya karena dikejar usia? Bagaimana caranya bertahan dengan orang yang salah untuk sisa usia yang dimiliki? Menurut saya perempuan atau laki-laki tidak memiliki tanggal kadaluarsa untuk jatuh cinta. Perempuan atau laki-laki tidak memiliki batas waktu untuk merasa bahagia. Kalau belum menemukan yang cocok, sekalipun yang datang itu begitu membludak ya jangan memaksakan. Jangan diburu-buru. Jangan gegabah. Kamu dari makan, tidur, sampai jalan-jalan bakal sama orang yang sama terus. Kalau takaran kita hanya usia, bukankah risiko itu terlalu riskan kita tanggung?
Jatuh cinta itu takdir, menikah itu adalah nasib yang dapat kita pilih.
Daripada rungsing, daripada pusing, daripada mendengar suara masyarakat yang bising lebih baik sibukkan diri untuk tumbuh dengan kekuatan sendiri yang dimiliki. Tumbuh jadi manusia mandiri yang dapat diandalkan oleh dirinya sendiri. Manusia yang dapat berkembang dengan pengalamannya sendiri. Manusia yang dapat berbahagia karena usaha dan kerja kerasnya sendiri. Manusia yang dapat mengisi perut sampai batin karena keringatnya sendiri. Kalau kita tidak dapat menghidupi dan membahagiakan diri sendiri saja, bagaimana mampu menjanjikan dan memberikan yang terbaik bagi pasangan? Untuk anak-anak kelak? Bukankah kita akan menjadi orang tua yang durhaka dan bebal disaat kita tidak mampu memberikan apa-apa pada anak kita dan hanya menyalahkan mereka untuk tidak menghormati kita? Bukankah disaat kita berpikir ingin memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak, kita akan bekerja keras untuk itu? D isisi lain meski saya lahir dan besar dari keluarga yang bahagia, tetapi saya tetap belajar dari mereka yang paham rasanya kegagalan pernikahan. Kau paham? Mandiri itu syarat mutlak kalau kita ingin tetap bertahan di hadapan kerasnya hidup.
Saya paling enggan menjadikan pernikahan sebagai pelarian ketika hidup serasa begitu bajingannya. Pernikahan semestinya merupakan sebuah perayaan ketika dua orang yang sudah berbahagia dengan dirinya masing-masing dapat bersama. Dan pernikahan bukan soal pesta satu hari yang nabungnya harus berbulan-bulan itu cuk, Itu menyoal setelahnya dimana kita harus berbesar hati menghadapi baik buruknya orang yang sama.
Bukankah Tuhan akan mempertemukan kita dengan orang-orang yang layak disaat diri kita sendiri sudah menjadi seseorang yang layak? Bukankah kita akan menjadi lebih merdeka dalam memilih mana yang terbaik bagi diri kita disaat sudah menjadi manusia terbaik dalam takaran diri kita sendiri?
Mari sibukkan diri dengan menuntut diri sendiri menjadi manusia yang dapat dibanggakan. Ketika saya menulis ini, keinginan saya untuk menjadi perempuan hebat, mandiri dan tegar sedikit lebih memuncak. Kebanyakan berharap seseorang yang baik akan datang tanpa diri kita sendiri banyak memperbaiki diri juga namanya omong kosong dan tak akan ada habisnya. Ambisi saya memang tendensius, tetapi bukankah yang paling paham cara mencintai orang lain adalah orang-orang yang mengerti cara mencintai diri sendiri?
Memilih pasangan itu ya harus selektif. Toh, masing-masing orang punya batas toleransi yang berbeda menyoal menerima kekurangan. Maka ya kenali diri sendiri, sampai kita benul-betul paham mau memimpikan pernikahan seperti apa dan dapat mengukur orang seperti apa yang dapat diajak untuk mengisinya.
Kalaupun saya menemukan orang yang punya visi hidup sama seperti saya, saya tidak hanya sekedar akan menunggunya. Saya sudah pasti saya akan mengejarnya, membahagiakannya, dan mencintainya. Saya tidak membatasi diri saya sebagai perempuan dalam urusan kejar-mengejar cinta.
Kalau belum menemukannya, saya akan banyak menyalurkan cinta itu untuk diri saya sendiri, membahagiakan diri saya sendiri sekaligus keluarga yang saya miliki terlebih dahulu. Bukankah kebebasan sebelum menikah adalah hal yang tidak dapat terulang dua kali?
Ceroboh sekali bila kita hanya memikirkan apa yang memang belum dapat kita miliki tetapi abai pada apa yang masih menjadi hal yang layak disyukuri saat ini.
Kata siapa semakin usia tua maka mendapat jodoh akan semakin sulit. Takdir manusia itu berbeda-beda. Pendapat siapa yang sedang coba kamu langkahi? Tuhan?

Total comment

Author

Unknown

1  komentar

awan kembali cerah ambu... haturnuhun

Cancel Reply