Saya
menyukai orang yang tumbuh dari luka. Orang yang banyak tertempa. Orang yang
menjadi penyintas. Orang yang paham rasanya menjadi korban lalu memilih bangkit
dan membantu orang-orang dengan permasalahan yang sama dengannya di saat ia
sendiri sudah kuat. Orang yang kuat bukan karena kasar dan menindas, tetapi
karena belas kasihnya yang selalu berupaya memajukan dan membahagiakan orang
lain. Orang yang pundaknya lebar karena terbiasa membaginya kepada mereka yang
lelah menanggung beban hidupnya sendirian. Orang yang pikirannya begitu
terbuka. Orang yang tidak diam saat ada sesuatu yang salah bergolak di depan
matanya. Kalaupun sebelumnya ia adalah orang bebal, ia sempat merasakan
penyesalan yang tinggi sampai ia memikirkan kesalahannya membuatnya tak layak
hidup dan berakhir menebusnya dengan mengubah diri dari seorang pelaku menjadi
seorang pelindung.
Orang
demikian adalah orang yang tahu caranya menopang di saat kita jatuh. Orang
demikian adalah orang yang akan menginspirasi kita untuk tumbuh. Orang demikian
tidak membiarkan kita tinggal di belakang untuk kemajuannya sendiri karena ia
paham bahwa hak untuk maju adalah kenikmatan yang harus dimiliki bersama. Orang
demikian biasanya tahu apa yang harus dikatakan sekaligus dilakukan di saat kita
membutuhkan pemahaman. Orang demikian paling tahu caranya membahagiakan. Orang
demikian paling tulus dalam memaafkan. Orang demikian paling tau caranya
menerima karena ia tahu betapa kerdilnya hidup tanpa penerimaan. Orang demikian
memiliki kesabaran seluas semesta. Orang demikian adalah orang yang ketika
menyakiti orang lain selalu dihantui perasaan bersalah hingga tak bisa tertidur
dan berusaha bertanggung jawab dengan banyak cara. Orang demikian adalah orang
yang kehadirannya perlu disyukuri berkali-kali, dan kepergiannya layak
ditangisi berulangkali.
Jiwa-jiwa
ini tidak tumbuh melalui ijazah. Jiwa-jiwa ini tidak tumbuh dari genetika. Lucu
bukan bila orang-orang kerap hanya bertanya soal kerja dimana, lulusan mana dan
anak siapa? Padahal jiwa-jiwa ini hanya layak dipertanyakan dari cara terbentuknya
melalui kesulitan, kegagalan, tangisan, kesepian, kesendirian dan pemaknaan
yang hebat atas segala hal yang menimpanya.
Saya
berdoa dengan keras memiliki jiwa seperti itu. Saya akan bersikeras kepada diri
saya sendiri untuk memiliki bentuk jiwa yang saya sendiri mampu cintai. Saya
akan mencarinya, membenturnya hingga terbentuk seperti kata Tan Malaka. Tak
lucu bukan menggantungkan diri pada orang lain untuk urusan ini?
Saya
menyukai orang yang memaknai bahwa cinta merupakan suatu perbuatan. Lagipula apa yang bisa diharapkan dengan cinta yang isinya hanya omong kosong? Kebanyakan janji, kebanyakan
gombal, itu sampah. Cinta itu semestinya hadir melalui perbuatan. Sekali lagi,
perbuatan. Dua kali lagi saya bilang, perbuatan-perbuatan. Apa yang bisa
dipercaya ketika kita berbicara menyoal ketulusan selain daripada perbuatan?
Saya ingin memiliki
pernikahan yang menginspirasi. Sebuah pernikahan yang saling menghebatkan dan
menghormati satu sama lain. Pernikahan yang memaksa masing-masing untuk tumbuh
dan mengangkat satu sama lain untuk naik ke podium bersama-sama. Pernikahan
yang tidak hanya sekadar menyenangkan satu sama lain, tetapi bersatunya dua
individu yang punya dedikasi tinggi pada kemanusiaan dalam segala bentuk. Pernikahan
yang memandang bahwa mendidik generasi adalah tanggung jawab bersama.
Pernikahan yang setiap saat mencari pengalaman hebat bersama. Pernikahan yang
memiliki visi dan misi yang begitu besar sehingga hidup tidak begitu monoton
atau terjebak dalam pernikahan yang isinya rutinitas tanpa makna. Pernikahan
yang memiliki mimpi dan menghadapi secara gagah setiap keberhasilan dan
kegagalan bersama untuk mimpi-mimpi itu. Bukankah pernikahan seperti ini akan
terlalu sulit dilepaskan? Bukankah pernikahan seperti ini akan membuat kita
berpikir ratusan kali untuk berkhianat? Bukankah pernikahan ini hanya dimiliki
oleh orang-orang yang memiliki kejelasan hidup?
Latar belakang
pendidikan dan keluarga menurut saya merupakan suatu yang dapat dikompromikan. Perbedaan
karakter itu suatu hal yang dapat dimanajemen. Tapi kalau menyoal beda prinsip,
pola pikir, iman sampai visi kedepan bagaimana cara menyatukannya? Orang yang
sempurna itu takkan ada, tapi orang yang akan cocok dengan kita itu semestinya
ada. Sulit mengajak orang yang memang enggan maju untuk maju.
Bukankah tidak lucu
kalau menikah hanya karena dikejar usia? Bagaimana caranya bertahan dengan
orang yang salah untuk sisa usia yang dimiliki? Menurut saya perempuan atau
laki-laki tidak memiliki tanggal kadaluarsa untuk jatuh cinta. Perempuan atau
laki-laki tidak memiliki batas waktu untuk merasa bahagia. Kalau belum
menemukan yang cocok, sekalipun yang datang itu begitu membludak ya jangan
memaksakan. Jangan diburu-buru. Jangan gegabah. Kamu dari makan, tidur, sampai
jalan-jalan bakal sama orang yang sama terus. Kalau takaran kita hanya usia,
bukankah risiko itu terlalu riskan kita tanggung?
Jatuh cinta itu takdir,
menikah itu adalah nasib yang dapat kita pilih.
Daripada rungsing,
daripada pusing, daripada mendengar suara masyarakat yang bising lebih baik
sibukkan diri untuk tumbuh dengan kekuatan sendiri yang dimiliki. Tumbuh jadi
manusia mandiri yang dapat diandalkan oleh dirinya sendiri. Manusia yang dapat
berkembang dengan pengalamannya sendiri. Manusia yang dapat berbahagia karena
usaha dan kerja kerasnya sendiri. Manusia yang dapat mengisi perut sampai batin
karena keringatnya sendiri. Kalau kita tidak dapat menghidupi dan membahagiakan
diri sendiri saja, bagaimana mampu menjanjikan dan memberikan yang terbaik bagi
pasangan? Untuk anak-anak kelak? Bukankah kita akan menjadi orang tua yang
durhaka dan bebal disaat kita tidak mampu memberikan apa-apa pada anak kita dan
hanya menyalahkan mereka untuk tidak menghormati kita? Bukankah disaat kita
berpikir ingin memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak, kita akan bekerja
keras untuk itu? D isisi lain meski saya lahir dan besar dari keluarga yang
bahagia, tetapi saya tetap belajar dari mereka yang paham rasanya kegagalan
pernikahan. Kau paham? Mandiri itu syarat mutlak kalau kita ingin tetap
bertahan di hadapan kerasnya hidup.
Saya paling enggan
menjadikan pernikahan sebagai pelarian ketika hidup serasa begitu bajingannya.
Pernikahan semestinya merupakan sebuah perayaan ketika dua orang yang sudah
berbahagia dengan dirinya masing-masing dapat bersama. Dan pernikahan bukan
soal pesta satu hari yang nabungnya harus berbulan-bulan itu cuk, Itu menyoal setelahnya dimana kita
harus berbesar hati menghadapi baik buruknya orang yang sama.
Bukankah Tuhan akan
mempertemukan kita dengan orang-orang yang layak disaat diri kita sendiri sudah
menjadi seseorang yang layak? Bukankah kita akan menjadi lebih merdeka dalam
memilih mana yang terbaik bagi diri kita disaat sudah menjadi manusia terbaik
dalam takaran diri kita sendiri?
Mari sibukkan diri
dengan menuntut diri sendiri menjadi manusia yang dapat dibanggakan. Ketika
saya menulis ini, keinginan saya untuk menjadi perempuan hebat, mandiri dan
tegar sedikit lebih memuncak. Kebanyakan berharap seseorang yang baik akan
datang tanpa diri kita sendiri banyak memperbaiki diri juga namanya omong
kosong dan tak akan ada habisnya. Ambisi saya memang tendensius, tetapi
bukankah yang paling paham cara mencintai orang lain adalah orang-orang yang
mengerti cara mencintai diri sendiri?
Memilih pasangan itu ya
harus selektif. Toh, masing-masing orang punya batas toleransi yang berbeda
menyoal menerima kekurangan. Maka ya kenali diri sendiri, sampai kita
benul-betul paham mau memimpikan pernikahan seperti apa dan dapat mengukur
orang seperti apa yang dapat diajak untuk mengisinya.
Kalaupun saya menemukan
orang yang punya visi hidup sama seperti saya, saya tidak hanya sekedar akan
menunggunya. Saya sudah pasti saya akan mengejarnya, membahagiakannya, dan mencintainya.
Saya tidak membatasi diri saya sebagai perempuan dalam urusan kejar-mengejar
cinta.
Kalau belum
menemukannya, saya akan banyak menyalurkan cinta itu untuk diri saya sendiri,
membahagiakan diri saya sendiri sekaligus keluarga yang saya miliki terlebih
dahulu. Bukankah kebebasan sebelum menikah adalah hal yang tidak dapat terulang
dua kali?
Ceroboh sekali bila
kita hanya memikirkan apa yang memang belum dapat kita miliki tetapi abai pada
apa yang masih menjadi hal yang layak disyukuri saat ini.
Kata siapa semakin usia
tua maka mendapat jodoh akan semakin sulit. Takdir manusia itu berbeda-beda.
Pendapat siapa yang sedang coba kamu langkahi? Tuhan?