Formulir Kontak

 

Di Bawah Arus Hujan

Petang yang diiringi hujan tampak jelas. Petir itu terlalu kencang hingga seluruh pedagang asong di taman kota berlarian mencari tempat berteduh. Para ojek payung menjajakan diri sembari mengenakan jas hujan menawarkan jasanya pada lalu-lalang sembarang orang. Nyatanya tidak semua hujan membawa kita pada kenangan. Sesekali, hujan yang diiringi petir itu membawa kita pada ketakutan. Tidak semua hujan membawa kita untuk menyaksikan  pelangi, sama halnya tidak semua perjalanan membuat kita menepi pada tujuan. Bulukuduku merinding, entah karena baju yang kupakai terlalu tipis dikenakan saat musim hujan atau mungkin karena tubuhku mulai sensitif diakibatkan energiku habis untuk menunggu.
            Menunggu kehadiran seseorang saat hujan deras memang sedikit menyebalkan. Kekhawatiran kita memuncak memikirkan segala bayangan yang tidak pernah ingin kita aminkan. Tapi begitulah bagaimana pikiran mengoyak, membawa kita pada kegelisahan-kegelisahan yang beranak. Apalagi ditambah dengan perasaan tak karuan, doa menjadi satu-satunya tumpuan yang tetap menopang tubuh supaya bertahan. Jadi khawatir itu tanda apa? Rasa iba? Peduli? Kasih sayang? Cinta? Aku tak tahu, yang jelas perasaan khawatir adalah suatu hal yang manusiawi hadir saat kita menunggu seseorang di bawah hujan deras. Bahwa kita ingin dia selamat, bahwa pengharapan kita tentangnya tidak lagi sejauh menyoal masa depan, harapan kita hanyalah sejauh dapat berjumpa di saat itu juga dan di tempat itu juga.
Aku ingin menatap mata besar dan sayunya yang memperlihatkan mendalam pikirannya. Aku ingin mendengarkan seluruh isi pikiran, curahan, dan selingan humornya yang sebenarnya terlalu tua untuk umurnya. Aku ingin membuat diriku menjadi pelampiasannya dalam berbagi beban (bukan beban, tapi cerita!) hidup. Ah kau tahu? Selain daripada dilematik hujan yang membawa kita pada kenangan atau ketakutan, hujan juga menyoal membawa kita pada kesenangan memiliki percakapan dengan orang yang kita cintai. Bukan lagi mantel yang akan menghangatkan tubuh kita, tetapi ketenangan meraba lengannya yang basah oleh cipratan-cipratan hujan yang mengenai tubuhnya. Juga, ketenangan melihat gelak tawanya yang lincah dan terkadang sinis, bergantung pada bagaimana hormon, pekerjaan atau pikiran membawanya.
Kau tahu bukan sebuah percakapan yang membuat kita lupa waktu? Seringkali adzan hanya menjadi satu-satunya pengingat bahwa sudah lebih dari tiga jam obrolan kita dari hal yang serius seperti politik sampai dengan hal tak penting seperti selintingan tentang ingatan masa kecil yang kita pertanya dan nyatakan. Sebuah percakapan yang sama sekali membuat kita tak tertarik memainkan telepon genggam apalagi mengunggah kenangannya ke media sosial. Ini bukan percakapan yang perlu atau dinikmati dunia, ini hanya percakapan yang kita berdua nikmati, dalami dan senangi. Dunia tidak perlu ikut tertawa saat ia melabuhkan senyumnya, itu satu-satunya keegoisan yang tak pernah ingin kubagi pada khalayak. Kau boleh sama-sama melihatnya sedang tertawa, tetapi tawanya saat bersamaku, kau takkan pernah menyaksikannya!
Waktu di jam tanganku tetap menunjukan lajunya. Tetapi teleponku tak kunjung berdering. Pesanku belum juga sampai (kau tahu bukan tanda centang satu yang menyebalkan itu dan kita menanti pesan kita menjadi centang dua?!) Teleponnya mati. Mungkin ia kehabisan baterainya di perjalanan. Kau tahu bukan sebuah spesies bernama kekhawatiran berlipat saat seseorang yang kita tunggu tak juga kunjung tiba di bawah hujan deras? Apalagi ini sudah sepersekian menit-jamnya dilalui tanpa ada kabar yang pasti? Ia hanya berjanji akan tiba. Ia hanya berjanji akan lekas datang pada pesan terakhirnya.
Rasanya mematikan. Aku tak tahan dengan semua skenario yang ada di kepala. Aku lupa dengan tubuhku yang kedinginan. Aku lupa dengan segala hal, yang ada dibenakku hanya ada satu : dimana dia dimana dia dimana dia dimana dia dimana dia. Semoga dia cepat tiba. Kalau bisa mencari, aku harus cari kemana?

PS : Just wanna say,
Segerakan bertanya kabar atau bertemu orang yang kau cintai. Tak perlu menunggu hujan deras dan teleponnya mati untuk bertanya bila kau memang mengkhwatirkannya. Kau tahu sendiri bahwa menunggu itu melelahkan, maka jangan lagi menunggu. Bergeraklah.

Total comment

Author

Unknown

0   komentar

Cancel Reply