Formulir Kontak

 

Menanamkan nilai feminisme dalam keluarga


Saya seorang feminist. Tapi yang saya perjuangkan adalah keadilan gender, bukan hanya keadilan bagi perempuan. Saya enggan menjadi feminist yang memperjuangkan hak perempuan sampai bablas hingga tercipta fasilitas “ladies parking” di mall, bruh. Saya selalu berpegang teguh pada pandangan Emma Watson dalam pidatonya ketika menjadi duta UNWomen “perempuan dan laki-laki berhak untuk menjadi kuat dan menjadi sensitive”, saya memilih menjadi seorang feminist yang memanusiakan perempuan dan laki-laki. Munafik sekali kalau saya hanya membela perempuan yang diperlakukan dengan kekerasan dan mendapat perkosaan apabila saya sendiri diam apabila pria yang menjadi korban. Nah yang ingin saya bahas kali ini adalah bagaimana menyematkan keadilan gender dalam keluarga. Begini, saya sudah membaca beberapa literatur mengenai feminisme. Ada begitu banyak “keluhan” bahwa perempuan hanya dibatasi perannya hanya sebatas “dapur” dan “kasur”. Keluhan tersebut menurut saya wajar dalam konteks apabila pembatasan peran tersebut menghalangi perempuan untuk meraih cita-citanya seperti pendidikan atau karir. Terlebih, apabila pembatasan peran tersebut dilakukan dengan paksaan. Kesadaran banyak orang mengenai kesetaraan gender di era ini menurut saya sudah memuncak, apalagi kaula muda, yang tentu saja ada yang pro begitupun kontra. Perdebatan sengit selalu mewarnai isu ini. Bagi saya, ketika batasan-batasan patriarki berhasil ditembus oleh perempuan, dimana perempuan sudah mulai bisa berkarir dan berpendidikan tinggi hal tersebut juga berimplikasi pada beban perempuan yang semakin tinggi. Saya tahu banyak perempuan yang sudah berumah tangga sekaligus berkarir merasa “keteteran” apalagi dengan yang sudah punya anak. Hal tersebut membuat banyak suami “menyuruh” atau “menasihati” si istri untuk keluar dari pekerjaannya untuk kelangsungan keluarga. Bagi saya disanalah keadilan gender diuji. Padahal menurut saya justru laki-laki harus turut membantu peran istri dalam urusan domestik. Saya cukup konservatif memandang bahwa urusan “dapur” dan “kasur” justru bagian vital dalam menjaga ketahanan keluarga, anggapan ini saya ambil dari teori hierarki kebutuhan Maslow yang mana dalam klasifikasinya si dapur dan kasur ini adalah bagian dasar kebutuhan manusia. Bagi saya, memasak adalah salah satu cara keluarga belajar untuk survive. Untuk mempertahankan keluarga dibutuhkan kerjasama yang baik dari seluruh anggota keluarga. Baik laki-laki atau perempuan idealnya bisa memasak. Ya bisa aja sih si makanan tadi beli, tapi ada esensi ter sendiri makan hasil masak sendiri ketimbang beli wkkwkw. Toh, memasak sendiri keamanan dan kesehatannya lebih terjaga ketimbang beli. Bagi saya ketika saya diharuskan bisa memasak, hal tersebut sama sekali tidak mengubur nilai feminisme dalam diri saya. Begitupun urusan kasur, itu adalah salah satu bagian yang vital untuk mempertahankan keharmonisan antara suami dan istri. Sehingga, orang-orang  yang mengakui dirinya feminist tapi justru mendegradasi peran domestikbagi saya itu berlebihan (atau bahkan keterlaluan). Saya tahu saat ini banyak laki-laki yang juga mengakui dirinya feminist, but theory is just theory. Bagi saya, ketika ada laki-laki yang berkoar bahwa dirinya feminist dan mendukung kesetaraan gender tapi dalam pengaplikasiannya enggan membantu ibu atau istrinya dalam pekerjaan domestik (rumah tangga), rasanya bikin kesal sendiri. Kalau laki-laki yang mengakui dirinya feminist tapi masih membuat istri atau ibunya bekerja dari matahari terbit hingga mata suami terpejam, Just eat your own words. Ayah saya sama sekali tidak tahu apa itu feminisme, tapi beliau selalu membantu pekerjaan rumah tangga dimulai dari pel rumah sampai mencuci pakaian. Di rumah saya, baik laki-laki atau perempuan semuanya bekerja. Bagi saya itu adalah ideal karena itu terbukti mempertahankan keharmonisan keluarga. Terbuktilah perkataan saya melalui beberapa penelitian bahwa pernikahan bahagia justru adalah pernikahan yang melibatkan semua pihak bekerja di rumah. Begitupun dalam urusan mendidik anak. Bagi saya, urusan mendidik anak bukanlah hanya sebatas tugas ibu tetapi juga tugas ayahnya. Anak butuh peran ayah juga untuk mendidik bukan sekedar sebagai pencari nafkah. Sehingga dalam banyak peran dimulai dari peran domestic maupun peran ekonomi hingga publik, perempuan dan laki-laki bisa berbagi tugas secara adil. Menurut saya justru patriarki juga merugikan laki-laki yang hanya menempatkan maskulinitasnya menjadi mesin ATM. Laki-laki dituding lemah apabila menangis dan menjadi sensitive. Makanya, saya bangga memiliki nilai feminisme yang berupaya adil bagi kedua gender dan tentu saja memanusiakan manusia. Saya juga paling malas melihat perdebatan sengit antara perempuan yang memilih berkarir dan berumah tangga. Orang yang berumah tangga menuding si perempuan yang berkarir mengabaikan anak dan suami begitupun orang yang berkarir menuding si perempuan yang berumah tangga hanya mampu bergantung pada pria saja. Lama-lama IQ saya bisa turun karena melihat perdebatan sengit dan –bodoh- itu. Bagi saya sikap menghargai harus timbul dalam jiwa perempuan maupun laki-laki. Sikap feminisme itu sikap menghargai pilihan. Ketika ada perempuan memilih berkarir itu haruslah didukung karena ia memiliki alasan kuat mengapa ia mesti berkarir. Ketika ada perempuan memilih menjadi ibu rumah tanggapun ia haruslah didukung karena ia memiliki alasan kuat mengapa ia mesti tinggal di rumah. Perempuan itu akan maju kalau tidak saling berkompetisi dengan jalan merendahkan orang lain untuk meninggikan dirinya sendiri. Saya ingin menyadarkan pria yang sudah lama “tertidur” dalam budaya patriarki : its okay for you to cry and be sensitive. Bantulah perempuan dalam urusan domestik karena itu sama sekali tidak akan melunturkan maskulinitas kalian. Jangan kasar kepada perempuan. Bagi perempuan yang mungkin memiliki satu aliran feminisme, jangan sampai kita bablas dalam segala hal ingin menyamakan diri dengan pria hingga kehilangan jati diri. Bagi saya sifat sensitive yang tinggi dalam diri perempuan haruslah dirawat begitupun sifat pengayom yang tinggi juga haruslah dirawat. Laki-laki senang dihormati, itu ego dasar mereka, bagi saya ketika menghormati laki-laki itu sama sekali tidak mengubur nilai feminisme tapi itu adalah bagian dari kerjasama mempertahankan keluarga. Perempuan itu senang dicintai, itu ego dasar mereka, bagi saya ketika laki-laki mencintai perempuan dengan ketulusan dan kelembutan itu sama sekali tidak melunturkan nilai kelaki-lakiannya. Intinya, perempuan yang mengakui dirinya feministpun, hati-hati dalam berkata dan beropini, jangan sampai menggenalisir menuding SEMUA PRIA SAMA SAJA. Itu adalah kejahatan berpikir. Tidak semua pria adalah pemerkosa, masih banyak pria yang menghormati tubuh perempuan terlepas terbuka atau tertutup pakaiannya. Tidak semua pria adalah brengsek, karena masih banyak pria yang mencintai perempuannya dengan tulus. Kepada priapun saya berpesan jangan membatasi perempuan, terutama dalam aspek pendidikan, karena perempuan memiliki peran tinggi dalam memajukan keluarga dan masyarakat. Semakin perempuan maju hal tersebut juga terbukti bisa mengurangi angka kemiskinan. Bagaimana perempuan dan laki-laki itu setara, sama-sama berpendidikan tinggi, sama-sama berperan dalam kehidupan anak, sama-sama saling membantu dalam urusan domestic, sama-sama maju dalam berkarir, sama-sama kuat dan sama-sama bisa sensitive. Bagi saya, itulah keadilan gender.

Total comment

Author

Unknown

0   komentar

Cancel Reply