Menyederhanakan
konsep parenting menjadi satu tulisan adalah kesulitan karena kajian parenting
itu amat sangat luas. Kalau kita rajin membaca tulisan mengenai parenting,
tulisan-tulisan parenting tidak akan jauh dari “Bagaimana membentuk anak menjadi pribadi yang…..” “Apa yang harus
dilakukan oleh orang tua apabila anak……….” “Bagaimana cara mengajarkan anak
untuk…….” Dsb. Tapi disini saya
belum ada pengalaman jadi orang tua. Kapasitas saya bicara ini hanyalah background jurusan kuliah, bacaan-bacaan
buku dan jurnal ilmiah, kelas parenting dan
workshop, begitupun sebagai pengasuh
keponakan saya kalau sedang di rumah. Sekiranya dirasa kurang meyakinkan, you could stop reading this. Tulisan ini
juga sebatas opini yang mengambil opini parenting secara makro, saya menerima
kritik dan diskusi.
Menurut saya,
parenting bukanlah dimulai sejak anak ada dalam kandungan. Tapi sejak memilih pasangan.
Ketika kamu milih pasangan, kamu harus kritis menilai pasangan kamu “Ini orang bakal bisa bikin keluarga gue berkembang
gak? Ini orang bakal layak jadi Ibu/Bapak anak-anak gue kelak gak?” Kenapa
saya bilang gini? Karena anak adalah bagian dari visi-misi pasangan. Kalau kamu
sama pasangan sudah satu tujuan mau ngebentuk keluarga gimana, udah sepakat peran
masing-masing dalam keluarga seperti apa, kalau mindset si pasangannya udah “bener”
itu akan meminimalisir konflik dalam keluarga (Konflik dalam keluarga itu
mutlak suatu keniscayaan, makanya selain manajemen keuangan, kecerdasan keluarga
dalam mengelola konflik itu juga sangat penting dan kuncinya itu komunikasi dan
keterbukaan). Saya wanti-wanti ke teman-teman saya “Jangan sampai urusan
perasaan jadi landasan menikah. Feeling, wealth or beauty is never enough, but
good character is more than enough. Tidak akan ada satupun yang sempurna,
toh kita juga sama sekali jauh dari kata sempurna. Tapi cari yang satu iman
(bagi gue ini penting), satu visi, satu misi, dan satu mindset ama kalian dan
paling penting yang dapat memuliakan kalian”. Masalahnya menikah itu bukan
pacaran yang bisa putus kapan saja. Menikah itu ngiket “dua keluarga” secara
hukum dan agama. Dua keluarga tadi bakal ngaruh ke perkembangan anak. Lebih baik single daripada menghabiskan waktu dengan orang yang salah, dan lebih baik hidup bersama dengan orang benar ketimbang single. Opini soal
pernikahan sebelumnya udah di tulis di tulisan saya yang ini http://amirasyida.blogspot.co.id/2017/02/perihal-pernikahan.html
Kalau
sekiranya teman-teman pembaca sudah menikah, ambilah diskusi yang intens
mengenai anak. Kalau kedua orang tua saya biasanya menyempatkan bahas-bahas
yang penting sambil quality time
kencan berdua, you need a good mood to
discuss this. Saya ingat dulu di acara The
Nanny, diawal acara selalu ada diskusi antara The Nanny dan orang tuanya, mereka mendiskusikan “Masalah anak kalian apa? Lalu goals karakter
yang ingin dibentuk ingin jadi seperti apa?” Setelah diskusi dengan orang
tua selesai lalu esoknya dibikin meeting
dengan seluruh anggota keluarga. Disana dibuat “kontrak keluarga” dan dibagi
pembagian tugas “apa yang harus dilakukan si Ibu, ayah dan anak?” “apresiasi/hadiah
apa yang diberikan apabila berhasil?” begitupun “sanksi yang berlaku apabila
melanggarnya?” dan itu dipajang gede-gede di ruang keluarga. Ini sesuai praktek CBT (Cognitive Behavioral
Theraphy, indeed, its work!). Keluarga haruslah seperti teamwork. Tujuan kalian harus sama. Orang
tua juga perlu berkembang, bukan hanya anak. “Orang tua haruslah jadi contoh”
karena mau bacaan agama ataupun psikologi yang sejauh ini saya baca, intinya
mengarah kesana. You should be role model
before you teach your kids what they should do and don’t!
Dengan segala kerendahan hati saya bicara ini,
menurut saya apabila ada pasangan yang sudah menikah lalu ingin memiliki anak
tetapi belum juga diberkati momongan. Apabila berkenan, adopsi saja anak. Saya
beberapa kali mengunjungi panti asuhan, there
is a lot of baby or children waiting for you. Tidak ada yang salah dan “memalukan” dengan mengadopsi anak. Anak
bukan menyoal darah saja. Ingatlah bahwa yang terdekat dengan Nabi SAW di surga
nanti adalah yang paling baik terhadap yatim piatu. Indeed, God will love you too.
Tujuan saya nulis ini
adalah ingin meluruskan kesalahpahaman konsep yang umum ada di masyarakat bahwa
“mendidik anak adalah tugas ibu”. Menurut saya justru mendidik anak adalah
tugas kedua orang tua. Peran ibu dan ayah dalam keluarga
akan sangat berpengaruh ke anak. Kehadiran keduanya bakal ngaruh ke kehidupan
anak. Apa yang mereka lakukan dan katakan ke anak bakal ngaruh ke pembentukan
karakter anak. Menurut saya ayah juga harus ambil peran dalam ngedidik anak.
Jangan sampai peran suami hanya dimaknai sebatas “pencari nafkah” karena kalian
bukan mesin ATM. Jangan sampai peran ibu juga hanya dimaknai sebatas pengurus
rumah tangga, you’re more than that.
Dalam psikologi
dikenal dua pandangan, nature vs nurture.
Nature itu singkatnya adalah sesuatu
yang “udah dari sononya” sedangkan “nurture” adalah bentukan lingkungan
terhadap si anak. Saya pribadi menempatkan perbandingannya nature:nurture itu 30:70. Kenapa bukan lingkungan 100%? Karena
Tuhan menciptakan manusia yang berbeda-beda. Begitupun sikap kita harus “menyesuaikan”
dan adil terhadap anak. Kalau anak kamu itu tipikal sensitive kita tidak bisa menyamakan sikap kita terhadap anak yang keras
kepala. Jadi jenis parenting apa yang terbaik? Parenting yang bisa mencari dan mengembangkan kekuatan anak. Sekiranya
sikap tegas (bukan kasar ya) akan memunculkan sisi terbaik anak, bersikap
tegaslah. Sekiranya sikap lembut akan memunculkan sisi terbaik anak, bersikap
lembutlah. Saya seringkali tiap dateng kelas parenting dibeberin “Pokoknya parenting terbaik itu yang
demokratis” saya kurang sepakat. Apabila kita tahu anak salah, adakalanya
kita harus bersikap otoriter. Karena rasa sayang terhadap anak itu bukanlah
selalu memberikan apa yang mereka mau ataupun menyetujui apa yang mereka katakan,
tapi membuat mereka dapat mengerti dan bijak membedakan “mana yang benar dan
mana yang salah” sekaligus “mana yang baik dan mana yang buruk”. Baik menurut
siapa? Benar menurut siapa? Saya pribadi pakai patokan Islam yang Rahmatan Lil
Alaamiin. Setiap orang berhak memilih “patokannya” masing-masing dalam definisi
benar dan salah. Saya akan membeberkan cerita-cerita Rasulullah SAW kepada anak
laki-laki, begitupun kemuliaan perempuan yang baik menurut Rasulullah SAW
kepada anak perempuan. “Tirulah akhlaknya
terlebih dulu sebelum janggutnya” u got me? Ehe
Potensi anak itu
berbeda-bedaloh. Ada yang kemampuan anaknya di bidang eksak, sosial, seni, sosial,
intrapersonal dan macam jenisnya. Cari dan kembangkan itu. Kembangkan potensi
yang Tuhan udah kasih. Kalau kamu memaksakan kehendak pada anak “yang menurut
kamu baik” tetapi “ga sreg” di anak, kasian anaknya. Setelah potensinya keluar
dan ia hebat dalam bidangnya, pastikan anaknya kita didik bahwa apapun yang
dilakukannya itu harus bermanfaat bagi manusia dan agama. Buatlah anak bahagia
dengan kesadaran bahwa ia juga sebagai manusia memiliki keinginan, pemikiran
dan perasaannya tersendiri. Buatlah anak memiliki kesadaran bahwa ia akan akan
dapat membahagiakan orang lain dengan kemampuan yang dimilikinya. Jadilah orang
tua yang dianggap anak sebagai “support
system” terbaik. Jadilah sahabat mereka, jadilah orang tua mereka, jadilah
inspirasi dan panutan mereka. You rock
guys!
Itu tadi diatas
bahasan nurture sebetulnya. Sekarang membahas nature. Ini adalah bahasan social
work dan bidang keilmuan saya. Dalam
perkembangan anak, yang berpengaruh ke mereka itu bukan cuma orang tua. Betul bahwa orang tua berperan besar dan
dominan, tapi tidak boleh dipungkiri bahwa ada teman, sahabat, tetangga, guru dan juga berbagai jenis orang yang
berinteraksi dengan anak-anak kita. Kenalilah mereka dan dekatlah dengan
mereka. Ketahuilah “dunia” si anak, jangan sampai hanya sebatas menonton.
Doronglah anak untuk “ngajak main” atau “belajar bareng” di rumah dengan
teman-temannya. Telitilah baik-baik dan bersahabatlah dengan sahabat anak begitupun
orang tua sahabat si anak. Karena saya aware
dengan isu mental health, saya akan sangat mewanti-wanti anak akan isu bullying, find a good friends, dan be a good friends. Kita harus kasih
bekel loh ke anak “Nih kalau kamu
menghadapi orang atau perilaku kayak gini, sikap kamu mesti gini”. Sebagai
orang tua kita harus memastikan bahwa kesehatan fisik, mental dan pikiran anak
kita sehat. Selain dengan peer group/teman
si anak, menurut saya interaksi antara si orang tua dan guru anak juga mesti
intens. Saya gamau jadi orang tua yang “nyogok” gurunya demi ranking anak. Saya
tidak akan mementingkan ranking anak saya. Saya akan bertanya “potensi anak
saya dimana?” ketimbang “anak saya bermasalah di pelajaran apa?” karena saya
pribadi mau anak saya jadi ahli dalam satu bidang, bukan semua bidang. Saya mau
anak saya jadi orang jujur dan baik. Kenapa saya nulis ini? Karena saya tahu
banyak kasus “guru pilih kasih” karena kedekatan mereka dengan orang tua si
anak.
Bicara lingkungan,
saya memahami bahwa karena situasi dan kondisi ekonomi, ada sebagian orang tua
yang menitipkan anaknya di pengasuh/pembantu ataupun di nenek/kakeknya. Nah
siasatilah. Kalau kondisi kalian seperti itu, kalian punya tanggung jawab
mendidik pengasuh anak. Kasih mereka bacaan buku parenting atau sembari diskusi
di saat waktu kosong. Kamu harus memperlakukan pengasuh anak kamu dengan baik.
Jangan sampai memperlakukan mereka seenak jidat. Anak kamu ada di tangan
mereka, kalau kamu baik ke mereka, mereka juga akan baik sama anak kamu.
Tumbuh dan
berkembanglah bersama anak. Jangan sampai anaknya berkembang, tapi orang tuanya
tidak. Kalau orang tuanya berkembang, anak juga akan ikut berkembang. Kuncinya
aplikasiin hadits “galilah ilmu sampai
liang lahat”. Jangan berhenti membaca karena merasa sudah tua. Jangan berhenti
olahraga karena merasa tua.
Menurut saya, sampai
kapanpun orang tua juga hanyalah seorang manusia. Kita juga ada kalanya akan
berbuat salah terhadap anak. Mungkin bisa jadi karena kita sedang dalam kondisi tidak baik lalu “keceplosan” ngomong yang tidak
mengenakan ataupun berbuat sesuatu yang salah. Don’t be afraid to say sorry to your kids. Kalau kamu meminta maaf
saat kamu salah, merekapun akan demikian. Saya tahu, kejujuran anak dimulai
dari bagaimana sikap kita saat mereka salah bukan saat mereka benar. Kalau
mereka salah lalu kita memarahi mereka secara berlebihan, akan sulit bagi anak
berlaku jujur. Be and raise well!
No matter what happen
to your kids, please tetaplah jadi “support system” terbaik. Kesalahan sebesar
apapun yang mereka buat, tetaplah anggap mereka sebagai seorang anak. Rangkulah
mereka, don’t make too many judges.
Buat mereka belajar dari kesalahan-kesalahan mereka, bukan menjauhi apalagi
mengusir. Kedekatan kita dengan anak diuji bukan disaat masa-masa terbaik anak,
tapi di masa-masa terpuruk anak. Saya bilang gini karena saya udah terjun ke
anak-anak yang dianggap bermasalah secara hukum. Saya sudah pernah berhadapan
dengan anak-anak pengguna narkoba. saya tahu mereka sangat butuh support orang tua. Mereka tahu mereka
salah dan mereka enggan mengulang. They
are human too.
Panjang wkwk :). Gapapa.
Ini bekal buat saya kelak kalau saya punya anak. Semoga bermanfaat!