Saya masih ingat percakapan di jam
istirahat setelah kelas sewaktu di Pare Kediri tahun 2015 silam sempat berdiskusi
dengan guru-guru saya sekaligus salah satu penduduk di sana mengenai banyak topik.
Di tengah-tengah percakapan tersebut, ada selingan pertanyaan “kamu kalau nikah tujuannya buat apa?”
saya yang nilai hidupnya happy-oriented
saat itu hanya menjawab “ya untuk bahagia
dong” lalu sontak saya ditegur keras-keras “wah kalau kayak gitu, jangan nikah, gausah nikah!” saya hanya heran
dengan menjawab “lah kenapa? Apa yang
salah dengan berusaha bahagia?” lalu beliau menjelaskan dengan lugas “tujuan menikah itu untuk beribadah! Kalau tujuannya
selain itu, udah mending gausah menikah!” dengan nada cukup tinggi.
Di usia ini saya sudah rutin menerima
undangan gelaran pernikahan dan turut menghadirinya pula. Tentu saya percaya
bahwa kawan-kawan saya sudah matang dimulai dari perencanaan sampai dengan benar-benar
memulai hidup barunya untuk ada di pilihan tersebut. Saya sangat bahagia sekali
melihat mereka. Meski demikian, untuk saya pribadi masih prinsipil kalaupun mau
menikah dasarnya harus karena kesiapan bukan karena kesepian, bukan karena tuntutan
usia atau masyarakat apalagi sekadar ikut-ikutan. Terutama niatnya sendiri
harus lurus, ada baiknya (bagi yang Muslim) kita harus memaknai pernikahan
sebagai bentuk ibadah kalau mau berkah. Innamaal
binniyat, rasanya kalau niatnya sendiri sudah salah maka mau gimana
menjalani sisanya dengan benar?
Pemahaman agama saya masih sangat
dangkal. Bacaan keagamaan saya masih terlalu sedikit. Sikap saya sendiri apalagi
kalau pakai indikator “perempuan baik menurut Islam” wah masih sangat jauh. Sebetulnya
saya malu dan tidak ada kapasitas ilmu dan pengalaman untuk bicara ini. Tetapi
saya ingin berbagi pemikiran saya. Kalau dari tafsir, buku dan juga
ceramah-ceramah yang sejauh ini saya dengarkan perihal pernikahan, sedikitnya saya
tahu bahwa tujuan dari hidup ini
adalah ibadah kepada Allah Taala (Qs.Adz-Dzariyaat : 57). Kalau sudah
mengarahkan pandangan mata dan hati kesana, maka kita akan sadar kalau
pernikahan bukanlah tujuan, melainkan sebatas kendaraan. Menganggap pernikahan
sebagai tujuan hidup adalah sebuah kesalahan. Karena, kalau dalam Islam tujuan
hidup dan alasan kita diciptakan itu untuk beribadah kepada Allah Taala, bukan
dan tidak ada yang lain. Sedangkan pernikahan, pendidikan, pekerjaan begitupun amal
perbuatan baik adalah “alat” atau sarana yang membantu kita mencapai tujuan
kita yaitu Allah Taala. Maka akan sangat sulit untuk memulai pernikahan kalau
nilai dasar dan orientasi yang dimiliki oleh pasangan tersebut sudah berbeda.
Maka, untuk mempermudah menikahlah dengan yang satu iman.
Bicara
pernikahan sebagai kendaraan untuk
mencapai Allah Taala, menurut saya Islam sudah memberikan tempat yang ideal
untuk suami, istri begitupun anak-anak. Selayaknya dalam kendaraan, seorang suami
menempati posisi seorang sopir yang membawa mobil tersebut ke arah yang dituju.
Sedangkan seorang istri duduk disampingnya untuk mendampingi sampai di tujuan, mengingatkan dan juga menegur kalau di tengah jalan salah
arah. Begitupun anak-anak duduk di belakang mengikuti dan dibawa oleh orang tua
pada tujuan tersebut. Kalau satu keluarga yang duduk dalam kendaraan tersebut
sudah satu arah dan satu tujuan, maka terberkatilah keluarga tersebut.
Tentu bukan hal yang mudah, karena bagi
seorang suami untuk dapat “mengendarai” kendaraan tersebut dan memastikan bahwa
seluruh penumpang bertahan dan selamat sampai tujuan harus memiliki keahlian.
Keahlian tersebut adalah perihal kepemimpinan menjadi seorang Imam. Kalau
mengendarainya “ugal-ugalan” maka belum tentu satu keluarga selamat, kalau cara
mengendarainya kasar maka penumpangnya dapat kabur dan melarikan diri di tengah
jalan, kalaupun terlalu pasif maka kendaraan tersebut tidak akan pernah melaju.
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Sunan Ibn Majah,
Rasulullah SAW pernah berkata bahwa “Sebaik-baiknya
kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya”. Anyway, kasus KDRT di
Indonesia cukup tinggiloh.
Bukan hal yang mudah juga bagi seorang
Istri untuk memberikan loyalitas mendampingi dan juga menegur sang suami kalau-kalau
salah arah menuju tujuan. Makanya, saya mendukung dan menyuarakan perempuan
untuk menempuh pendidikan tinggi ataupun diberikan keleluasaan untuk belajar
yang banyak, karena isi kepala dan tindakan perempuan akan mampu membantu suami
mengarahkan arah kendaraan ke tujuan yang benar. Isi kepala mereka dapat
menyelamatkan bahtera rumah tangga. Karena, tugas istri adalah membantu suami untuk
mempertahankan semua penumpang tetap selamat tinggal dalam kendaraan.
Selayaknya sedang mengendarai mobil di tengah jalan, kita tentu tahu ada banyak
sekali peraturan; dilarang parkir sembarangan, dilarang berhenti, dilarang
memutar arah, dsb. Penting untuk mengetahui dan membedakan mana yang benar dan
juga mana yang salah. Seorang istri akan menentukan arah anak-anaknya akan
dibawa kemana dan apabila ada yang salah ia tahu harus bagaimana. Perempuan itu
kalau terdidik akan mampu mendidik. Kalau sudah tahu mana yang benar maka ia
akan mengarahkan satu kendaraan ke arah yang benar. Kalau salah? ya susah. Makanya
sekali lagi, satu iman penting. Kalau pedomannya sama, maka tidak akan salah
arah.
Bicara indikator keberhasilan
pernikahan. Kalau sudah satu konsep mengenai “tujuan” dan “kendaraan” maka kita
akan tahu kalau “keberhasilan” itu ditentukan semakin dekat atau jauhnya kendaraan
tersebut dari tujuan yang ingin dicapai. Di era modern ini, kita amat sangat
dipertontonkan wedding/marriage goals oleh banyak orang baik di televise
atau media sosial. Pesta yang glamor dan juga berbagai kesenangan yang seolah
diidam-idamkan. Tetapi kalau konsepnya pakai agama, maka kemenangan sebuah
keluarga sebetulnya ditentukan ketika keluarga tersebut dekat dan mendapat
naungan dari Tuhan. Sekiranya sebuah keluarga mendapatkan banyak ujian berupa
musibah tetapi hal itu membuat mereka bersikap sabar dan dekat dengan Allah
Taala, maka keluarga tersebut mendapat kemenangan. Sekiranya sebuah keluarga
mendapatkan banyak ujian berupa kesenangan tetapi kesenangan tersebut justru
malah menjauhkan dengan Allah Taala, maka keluarga tersebut mendapati
kekalahan. Jadi pernikahan yang berhasil bukanlagi mengenai banyaknya asset yang
dimiliki, bukanlagi mengenai banyaknya destinasi liburan yang dikunjungi,
tetapi bagaimana keluarga tersebut berdekatan dengan sang Illahi. Tentu saja
pandangan ini akan sangat berbeda dengan masyarakat umum, karena memang sudah
hakikatnya mengejar dunia dan akhirat seringkali sifatnya bertolak belakang.
Toh, hidup ini cuma sementara kan?
Bicara memilih pasangan, mungkin
orang-orang sudah tahu dari beberapa hadits bahwa ada baiknya kita mementingkan
memilih seseorang berdasarkan agama dan ketaqwaan dibandingkan rupa, harta,
keturunan dll. Saya dulu waktu kecil berpikir bahwa “orang soleh” adalah
orang-orang yang rajin shalat, zakat dan puasanya. Tapi mengingat saya
sendiri adalah seorang pelaku yang pernah beribadah tanpa mengetahui hakikatnya dalam jangka
waktu yang panjang. Hanya memahami shalat sebagai rutinitas supaya tidak masuk
neraka. Hanya memaknai puasa sebagai kewajiban yang perlu dilakukan sebulan
penuh satu tahun sekali dimana didalamnya harus memperbanyak shalat dan
sedekah. Tanpa sadar bahwa saya telah menganiaya diri sendiri. Tanpa pikir panjang, saya pernah menjadikan Tuhan
sebagai “alat” melalui berbagai sarana ibadah untuk mendapatkan keinginan dan
impian saya (dan hampir semuanya bersifat keduniawian). Sehingga saya
menghela nafas panjang dan sadar kalau selama ini hidup saya amat sangat salah.
Tuhan yang seharusnya dijadikan tujuan, malah dijadikan alat. Sedangkan alat (pendidikan
atau pernikahan begitupun impian-impian lain) yang seharusnya dijadikan sekedar
alat malah sebagai sebuah tujuan. Jadi jangan salah fokus kayak saya yaaa! HEHE. Jadi berdoalah bahwa semua impian yang diharapkan hanyalah sebatas pijakan untuk mendapat ridho Allah Taala itu sendiri
Bicara agama, saya tahu bahwa
orang-orang shaleh menjadikan shalat bukan sekedar rutinitas dan sekedar
gerakan-gerakan belaka. Tetapi shalat itu justru sebagai penjaga kita supaya
tidak berlaku keji dan mungkar sekaligus mendekatkan diri dengan Allah Taala
(Al-Ankabut: 46). Puasa selain untuk sekedar menahan lapar tetapi harus
dijadikan sebagai sarana belajar kita untuk menahan hawa nafsu. Sehingga “latihan”
dari satu bulan Ramadhan tersebut berdampak pada perubahan ruhani dan sikap
kita untuk sebelas bulan kemudian. Begitupun zakat bukan hanya memberi yang
miskin, tetapi justru melatih diri kita untuk hidup sederhana dan semakin banyak memberi kepada yang membutuhkan
bukan taraf hidupnya yang ditingkatkan apabila mendapat harta lebih. Jadi
saat kita memilih seseorang untuk dijadikan pasangan hidup berdasarkan agama,
menurut saya indikasinya bukan hanya mengenai rajin shalat, puasanya
begitupun besaran zakatnya, tetapi termasuk cara dia memperlakukan manusia juga
merupakan bagian dari memilih berdasarkan “agama” itu sendiri. Karena kalau rajin shalat tapi masih berbuat keji maka shalatnya "kosong", kalau puasa tapi tidak dapat menahan hawa nafsu maka puasanya juga "kosong". Karena agama
mengatur hubungan manusia dengan Allah Taala (Habluminallah) begitupun hubungan manusia dengan manusia (Habluminannas) maka kurang tepat apabila
ada pertanyaan seperti yang pernah saya dapatkan “pilih orang berdasarkan sikap atau agamanya?” toh keduanya bukan
variable yag terpisah.
Bicara
pesta pernikahan (Walimah/Wedding)
menurut saya konsep paling ideal justru adalah yang sederhana dan sesuai
kemampuan saja. Begini, ada banyak sekali (kenyataannya) yang sampai rela
meminjam uang sana-sini dan menjual banyak barang yang dimiliki hanya demi satu hari pesta pernikahan. Karena
dengan satu alasan “satu kali seumur
hidup” Menurut saya pernikahan yang sesungguhnya bukanlah di satu hari
pesta (wedding), tetapi justru
masa-masa setelah pesta itu usai (marriage).
Jangka panjang. Lebih baik investasikan harta pada yang lebih bermanfaat untuk
keberlangsungan pernikahan. Kalaupun mau cukup meriah, daripada dihabiskan di wedding day saya lebih prefer mengadakannya
anniversary pernikahan di hari tua sebagai apresiasi karena telah berhasil mempertahankan bahtera rumah
tangga. Itupun kalau keadaan finansial baik. Karena saya tahu, bahwa
mempertahankan pernikahan levelnya jauh lebih sulit daripada memulai pernikahan
itu sendiri. Juga, hanya itu bukti “sekali seumur hidup” bukan diawal tetapi
diakhir. Saya tahu dan bicara seperti ini karena data angka perceraian di
Indonesia sangat fantastis.
Pernikahan itu bukan hal yang mudah, tantangan sekalipun kesenangan yang dihadapi akan banyak. Dimulai dari perubahan diri dari faktor psikis sampai biologis begitupun faktor perubahan pada pasangan. Qalb (hati) adalah sesuatu yang cair dan mudah berubah-ubah. Coba tanya diri sendiri, dalam tiga tahun terakhir saja sudah berubah hati berapa kali? Maka kalau sudah menikah jangan jadikan hati sebagai sandaran untuk bertahan, tetapi agama sekaligus komitmen. Sehingga sesungguhnya "relationship goals" yang paling hakiki bukanlah menjaga nama pasangan dalam hati hingga akhir hayat tetapi saling mengingatkan supaya saling menjaga Allah Taala dalam hati masing-masing karena dengan demikian yang akan menjaga dan merawat hubungan tersebut justru adalah Allah SWT. *Tsah
Terakhir, sebagai tambahan kita tidak
boleh menghina, mengucilkan ataupun menertawakan mereka yang belum ataupun tidak
menikah. Karena Siti Maryam RA (Ibunda Nabi Isa as/Yesus) merupakan salah satu perempuan
terbaik di muka bumi ini menurut Rasulullah SAW, tetapi tidak pernah menikah
dan tidak tersentuh oleh pria. Karena sekali lagi, pernikahan adalah “alat”
bukan tujuan. Alat mencapai Allah Taala juga bukan hanya pernikahan, tetapi
tersenyum sekalipun itu sudah sebuah sedekah :). *Senyumin kamu* Maka, ada baiknya kita saling
menghargai pilihan dan sikap masing-masing orang. Daripada menggunjing lebih
baik mendoakan.
Panjang ya. Semoga bermanfaat tapi.