Perkembangan nalar saya tidak
dapat diukur, entah semakin berkembang atau semakin merosot. Tapi indikasi
kemerosotan akal bagi saya adalah kefanatikan. Saya mengklaim diri saya seorang
yang cukup moderat dan pendukung pluralisme. Aktivitas saya satu tahun ke
belakang cukup berfokus dalam gerakan tersebut. Membuat komunitas KOIN
(Komunitas Interfaith) Jatinangor bersama teman-teman saya lalu
mengembangkannya. Belum lagi kegiatan
dari berbagai seminar dan workshop yang mendukung pluralisme saya ikuti. Saya
merasa bahwa saya sudah sangat pro terhadap keberagaman, mengingat saya
berpikiran bahwa saya dapat bersahabat baik dengan semua orang yang berbeda
saya. Minoritas ataupun mayoritas yang pro terhadap pluralisme adalah sahabat
saya. Ketika ada yang melecehkan mereka, saya akan membela mereka.
Tapi ketika saya berefleksi lebih jauh, saya sadar bahwa yang
sesungguhnya berbeda dengan saya bukanlah mereka yang berbeda agama dengan
saya. Lebih dari itu justru yang dapat dikatakan benar-benar berbeda dengan saya
adalah orang-orang yang pandangannya cukup kontras dengan saya, salah satunya
adalah FPI. Saya akui bahwa dulu saya sangat mendukung opini pembubaran FPI setelah berbagai ulah yang
mereka ciptakan. Namun pertanyaan-pertanyaan yang membuat nalar saya tergoncang
adalah “apabila prinsipnya adalah
melenyapkan atau membubarkan apa bedanya saya dengan Hitler? Apa bedanya saya
dengan Soeharto? Apa bedanya saya dengan FPI-sendiri?” Saya awalnya melihat
FPI dan juga kawanannya yang tidak pro terhadap pluralisme adalah tokoh
antagonis dalam hidup saya sebagai pendukung pluralisme. Saya sering kesal
dengan sekawanan orang yang merasa bahwa dirinya “paling” Islami sampai
mengkafirkan orang lain dan lebih parahnya sampai melakukan kejahatan terhadap
orang lain (Merusak/menyegel Masjid Ahmadiyah, mengganggu umat Kristen ibadah
seperti kejadian KKR di Bandung, Menurunkan patung Buddha dsb) atas dasar iman.
Tapi kalau dipikir-pikir apakah saya harus menyalahkan sebuah lembaga secara
utuh atas hal tersebut? Atau menyalahkan individu yang menjadi pelakunya?
Karena jika berdewasa dalam hukum, tentu saja harus individunya, bukan lembaganya.
Perumpamaan seperti ini sama dengan perumpamaa “jangan menyalahkan Islam tapi
salahkan penganutnya” ketika kita bicara terorisme.
Ketika saya mengklaim bahwa saya pro terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)
saya harus menyadari bahwa hak yang dimiliki individu bukan hanya hak beragama
tetapi juga hak berserikat dan berorganisasi. Ketika saya mendukung pembubaran
FPI, bukankah saya adalah seorang pelaku jahat yang sama juga merenggut hak
orang lain? Saya pikir saya harus tetap dapat mengapresiasi kalau FPI berbuat
baik seperti menolong korban banjir. Tidak ada manusia yang sepenuhnya baik,
atau manusia yang sepenunya jahat.
Saya sangat sering menyimpan bacaan dengan tema “jangan membenci dan
belajarlah memaafkan” sebagai reminder
bagi saya pribadi. Saya percaya bahwa Islam yang saya imani mengajarkan tentang
kasihanilah dan maafkanlah musuhmu. Karena saya pikir, akan sulit berlaku adil
ketika kita membenci sesuatu. Perlu juga jadi bahan refleksi, ketika saya pro
terhadap pembubaran sesuatu, apakah saya benar-benar dapat dikatakan orang yang
plural? Karena menurut saya, apabila FPI tidak melakukan kriminal secara
lembaga, mereka masih layak eksis menikmati haknya untuk berserikat begitupun
berorganisasi. Ketika ada oknum yang merusak dan melakukan perbuatan yang masuk
ranah hukum, ya menurut saya –jika mengikuti prinsip adil- cukup oknumnya yang
disalahkan, bukan organisasinya. Saya pikir orang-orang FPI memang menafsirkan
bahwa cara mereka untuk masuk surga memang demikian, sama halnya dengan saya
sendiri punya tafsiran yang dipegang oleh pribadi bagaimana untuk meraih surga.
Saya kira adalah sebuah hal yang lumrah dalam sebuah agama berbeda penafsiran,
bukankah itu yang memecah Islam tersendiri? Ada Sunni, Syiah, Ahmadiyah, Sufi,
Wahabi etc. Karena ya memang beda tafsir. Tapi ketika penafsiran tersebut "merusak" atau merugikan orang lain seperti ISIS, disini hukum memang harus bekerja. Tidak ada toleransi bagi yang merusak toleransi.
Mungkin bagi saya ketika sikap dan pandangan saya terhadap yang benar-benar
berbeda dengan saya cukup berubah, saya dapat lebih meluaskan hati saya untuk
memaafkan dan melindungi hidup saya sendiri dari kebencian. Kalau mereka
memusuhi saya atas segala pandangan dan keyakinan saya, saya tidak perlu
menjawab dengan hal yang sama. Bukankah yang terpenting itu adalah tentang
merespon? Nabi Muhammad SAW dengan segala kemulian dan kesempurnaannya sebagai
manusia tetap saja banyak yang menolak dan membenci, tapi beliau selalu
membalasnya dengan kebaikan dan mendoakan.
Saya masih memiliki hak untuk berbeda pandangan dengan orang lain, tapi
saya juga harus melindungi hak orang lain yang juga berbeda dengan saya. Saya
pikir Islam adalah agama yang dijaga oleh Allah Taala. Meskipun ada banyak oknum
seperti ISIS ataupun boko haram yang merusak citra Islam, saya yakin yang Maha
Kuasa tetap akan melindungi agama ini. Saya pikir dengan dunia yang sudah sarat
dengan kebencian, saya harus semakin massif berbuat baik bukan semakin banyak
menuding bahwa orang lain salah. Semoga keadilan semakin dilimpahkan pada dunia
ini.