Saya memiliki teman yang
memasang tato pada bekas luka bakar di lengannya. So I asked him “Lo merasa malu sama bekas luka bakar itu
hingga menutupinya dengan tato?” then he replied “Nope. Luka bakar itu menyakitkan, but I made them as an art”. Saya
sebenarnya sempat termakan hasutan masyarakat awam yang menggeneralisir tato
sebagai bentuk kenakalan atau melihat penggunanya ingin terlihat gaul. Tapi
ketika teman saya berkata seperti itu pandangan saya cukup berubah. Saya tidak
akan membahas tato, tetapi saya hanya senang dengan pandangan teman saya yang
menjadikan bekas luka bakarnya sebuah seni.
It takes a long time to feel confidence with your worst past. Mungkin orang
lain yang sama-sama memiliki bekas luka bakar akan ada yang mencoba menutupinya
sekuat tenaga karena merasa malu, tapi bagi sebagian orang itu adalah sebuah
seni. Seni karena memaknai luka bakar sebagai bentuk pertahanan bahwa ia telah
dan tetap bertahan setelah ditimpa panasnya api.
Bagi sebagian orang yang memiliki masalalu buruk hal tersebut dimaknai
sebuah aib. Entahlah mungkin jika mengingat kesalahan-kesalahan yang pernah
diperbuat terasa sangat fatal dan tak termaafkan. Ataupun pernah mengalami
kejadian buruk yang dirasa luar biasa sampai dirasa tidak dapat mengimbangi
sebesar apapun kebahagiaan atau kelebihan yang dimiliki. I once felt it. That feeling so
worst. Ketika kita melihat masalalu kita sebagai kekurangan kita, I believe, till the end you’ll feel so
worthless. Saya paham bahwa belenggu masalalu akan selalu mengikat kita
sampai kapanpun. Insecure is illness, but
feeling insecure because of your past is disorder. Setiap orang memiliki
sisi ketakutan bahwa kekurangan-kekurangan yang ia miliki ataupun masalalu yang
pernah menimpanya akan membuat dunia berpaling dari kita. Membuat sebagian
orang pergi meninggalkan kita ataupun tidak dapat menerima kita. Have you ever feel that way?
Tapi saya disadarkan akan satu pemahaman bahwa masalalu, masa kini dan
juga masa depan adalah sebuah interkoneksi. Ketiganya saling berkaitan.
Kesalahan-kesalahan yang pernah kita buat pada hakikatnya adalah proses belajar
dan pendewasaan. Tekanan-tekanan yang pernah menghampiri kita, kata-kata yang
pernah menyakiti kita, pengabaian yang pernah kita terima, pukulan yang pernah
membengkakan tubuh kita, kegagalan yang menggandrungi kita dan berbagai pemicu lain
akan sakit hati kita, itu semua proses penguatan kita. Sepertihalnya sebuah
pedang, ia semakin terasah tajam ketika timpaan besi dan panasnya api dalam
proses pembuatannya semakin kuat dan besar. Call
me bullshit. Tapi itu nyata. Saya setidaknya menilai orang-orang yang
menurut saya dewasa pernah melalui kejadian tragis dan mereka memaknai hal
tersebut sebagai bentuk proses.
Semua orang sebetulnya pernah melalui sakit hati, tapi ada juga yang
menjadi brengsek atas hal tersebut. Ada yang bermain playing victim dan berusaha menjadikan orang lain sama-sama victim.
Satu hal yang penting adalah bahwa ketika kita pernah mengalami kejadian buruk
ia tak lantas memberikan kita hak untuk berlaku buruk. Itu adalah bentuk kepengecutan.
Hanya karena kamu pernah dikhianati, kamu tidak perlu mengkhianati orang lain.
Hanya karena kamu pernah ditindas, kamu tidak perlu menindas orang lain.
Tapi pahlawan juga lahir dari rasa luka bukan suka. Rasa pahit yang
dialami membuat dia mengerti karena pernah merasa. Karena dia pernah merasakan
sakitnya dikhianati, ia enggan mengkhianati. Karena dia pernah merasakan
sakitnya ditindas, maka ia enggan menindas. Disisi lain, selain hanya enggan
berbuat biadab, mereka menolong mereka yang menjadi korban kebiadaban. Karena
mereka pernah merasa, sehingga mereka mengerti. Empati tidak tumbuh dari teori,
tapi dari pengalaman sakit hati.
Apa yang ingin saya coba bahas adalah sebetulnya siapa kita saat ini,
dengan segala kebaikan dan segala keburukan yang melekat itu semua adalah
bentukan masalalu kita. Sampai kapanpun, kalau kita enggan mencintai masalalu
kita akan sulit mencintai diri sendiri. Kamu tidak akan pernah merasa cukup.
Kamu akan sulit untuk bersyukur (benar-benar bersyukur melebihi kata-kata).
Hari yang paling membahagiakan bagi saya adalah ketika saya berkata dengan
tegas I love my scars and I am enough.
Saya senang dan percaya diri menceritakan masalalu saya yang baik maupun yang
buruk kepada siapapun. Setidaknya itu semua adalah proses yang membentuk saya
saat ini. Bagi saya ketika saya mulai percaya diri atas apa yang ada dalam diri
saya, saya sadar dan mulai mengerti makna kecantikan jiwa. Ketika saya berkata bahwa saya mencintai masalalu saya, itu bukan hanya sekedar melihat kejadian-kejadian di masa lampau. Tetapi melampaui itu, ia adalah segala hal yang ada dalam masalalu kita termasuk manusia yang terlibat di dalamnya. Saya berterima kasih kepada orang-orang yang sempat mencintai dan membenci saya sedemikian rupa, karena mereka juga adalah bagian dari masalalu saya. I love them. Mereka hadir kepada kita mengajarkan kita sesuatu dan membentuk kita menjadi sesuatu. Ketika saya menghargai masalalu saya, saya juga menghargai siapa saya hari ini.
I once said to my friend “I love
people with scars”. Simple words,
tetapi bagi saya itu berarti banyak. Ketika saya memahami diri saya sendiri,
saya mulai dapat memahami orang lain. Ketika saya mulai menerima masalalu saya,
saya bisa menerima masalalu orang lain. That is indeed beautiful. Flaws is really beautiful art. Kesempurnaan
manusia terletak dari ketidaksempurnaannya. Masalalu kita sampai kapanpun
tidak akan dapat diubah, tetapi cara pandang kita terhadap masalalu dapat
mengubah segalanya.