“Dingin”
serunya sambil menyelimuti tubuhnya yang menggigil dengan selimut tebal
berbahan beludru coklat.
“Selimut ini terasa paling berguna di kala angin
menyengat seperti ini di waktu fajar. Kalau sedang panas di musim kemarau ia
terabaikan sampai bulukan warnanya. Benda atau manusia sama saja, nilainya
terasa tinggi kalau sedang dibutuhkan dan diabaikan kalau tidak lagi berguna”
tandasnya lagi seperti filsuf abal-abal sambil menggosok-gosokan tangannya yang
seolah beku.
Aku hanya terdiam dan mengambil inisiatif menyeduhkan segelas
wedang jahe. Sebetulnya bukan minuman favorit ayah, tetapi aku tahu ---kata
salah satu akun di Instagram--- kalau
wedang jahe paling bagus untuk menghangatkan tubuh. Ayah yang terbiasa mengomentari
berbagai hal dengan sangat rinci dari urusan sepak bola, ekonomi sampai ke
perpolitikan tidak pernah berkomentar terhadap apapun yang aku berikan padanya.
“Nuhun De” hanya dua kata itu yang
tidak absen dari mulutnya setiap dibuatkan atau diberikan apapun. Hanya dua
kata itu.
Padahal terbesit sekilas harapan ada pujian-pujian lain yang
menyusul, entahlah aku dikatakan tampan, soleh
atau anak baik yang umumnya diucapkan orang tua terhadap anak. Tapi sia-sia
belaka berharap ayah mengungkapkan hal-hal ---yang mungkin menurutnya tidak
jelas--- seperti itu.
Sepertinya dengan sikapnya yang selalu berkomentar
terhadap apapun untuk tidak dikritik saja layak disyukuri. “Hmm” dia seolah
terhanyut dalam pikirannya sendiri. Aku hanya memerhatikan gerak-geriknya,
tatapan matanya kosong sedikit berbinar dan keningnya mengerut. Tubuhnya
terlihat kaku dan diam tetapi isi kepalanya seperti sedang bergejolak
mengumpulkan banyak kepingan-kepingan untuk menjadi satu buah pikiran yang
ingin dikatakan. Aku hanya terdiam menunggunya bicara.
Menerka jalan
pikiran seseorang nyatanya membuat kepala terasa penat. “Ayah kenapa?” tanyaku
yang kehabisan rasa sabar menunggu. “Ah tidak kenapa-kenapa. Oiya, cita-cita
kamu apa De?” tanyanya sebagai pembuka obrolan saat ini.
Kali ini giliranku
berpikir.
Aku membayangkan dengan liar kalau tubuhku sudah menjulang tinggi,
badanku cukup proporsional seperti para atlet sambil mengenakan tuksedo
berwarna hitam layaknya agen-agen detektif di layar kaca. Di sekelilingku banyak
gadis-gadis cantik berpakaian mini seperti di iklan-iklan parfum yang sering muncul
saat jeda film kartun favoritku. Aku memiliki banyak pengawal bersenjata
seperti seorang presiden. Lalu rumahku luasnya berpuluh-puluh hektar dan
memiliki banyak mobil serta pesawat pribadi. Kuceritakan semua isi bayanganku
kepada ayah.
Lalu ia tertawa kencang seolah merendahkan khayalan itu semua.
“Cita-cita kamu abstrak sekali De” ketusnya.
“Namanya juga cita-citakan? Mau membuat planet tandingan saja kalau namanya
cita-cita tak masalah! Memang cita-cita ayah apa?” Jawabku sambil sedikit
sewot. “Menjadi manusia yang bebas” suaranya dengan mantap seolah jawaban itu
hasil dari pergumulan dengan lamunannya yang panjang tadi. “Memang kita tidak
bebas?” tanyaku polos “Sampai kapanpun, sampai
kapanpun! Semakin kamu bertambah usia, kebebasan itu akan tiada. Kamu
bilang cita-citamu ingin punya pengawal seperti presiden, buat apa? Kamu artinya tidak bebas dan tidak aman! Keberadaan
mereka di sekelilingmu pertanda bahwa siapapun bisa menyerangmu dari berbagai
sisi, seolah bisa melindungimu dari pembunuh, seolah mereka bisa memperpanjang
umurmu dengan perlindungan mereka. Padahal kalau waktunya mati ya mati,
sebanyak apapun pengawal yang kamu miliki” jawabnya singkat.
Aku hanya terdiam
tak menjawab apa-apa, sudah dapat kuduga kali ini dia akan berkhotbah panjang
lebar seperti seorang khatib di kala shalat Jumat. “Nak” katanya. Aku hanya
mengangguk. Kali ini aku hanya ingin mendengarkan dengan seksama buah
pemikirannya yang selalu ia katakan di saat fajar tiba tanpa mengelak.
“Kebebasan
itu mahal sekali, kamu saja harus pakai seragam berwarna merah putih setiap
hari ke sekolah. Kalau kamu membangkang pakai baju Upin-Ipin ke sekolah, wah
sudah diskors kamu selama dua minggu” kali ini omongannya diiringi dengan cekikikan
kecil. “Kamu merasa kaya raya dengan banyaknya uang, koleksi mobil, motor, helikopter,
dengan banyaknya sewaan gadis-gadis berpakaian mini, dengan ratusan gedung
pencakar langit, dengan puluhan lemari jas-jas yang terlihat sama, dengan
banyaknya buntut angka di buku tabungan, dengan banyaknya pegawai untuk mencuci
bajumu, membersihkan kasurmu, menalikan tali sepatumu, banyaknya supir untuk
mengantarmu ke tempat-tempat yang ingin kau kunjungi dan juga banyaknya
berlian-berlian yang kau bisa beri semau hati ke setiap gadis yang kau pikir
cantik?” Matanya menyorot tajam kepadaku seolah memastikan aku mengeluarkan
kata “ya” dari mulutku. Tapi aku
memilih diam. Kalau aku berkata ya sepertinya
aku akan diomeli keras dan pedas, kalaupun berkata tidak itu seolah membangkang hati nuraniku sendiri.
“Manusia itu
hakikatnya tidak dapat bebas. Kalau semua orang ingin bebas dan berlaku
sewenang-wenang semau diri tidak mengikuti aturan, wah tidak akan bertahan
bahkan hanya dalam hitungan jam dunia ini!” Tubuhnya yang tadinya menggigil
karena kedinginanan mendadak menggebu-gebu “Hutan sudah terbakar habis, manusia
sudah mati dan mati” ucapnya lagi. Aku sedikit menyela “Jadi? Ayah ingin
menjadi manusia bebas tapi dengan batasan-batasan? Itu bukan lagi manusia bebas
dong” Kali ini ayah tak lagi
menjawab. Dia berpikir kembali sembari meletakan tangan untuk menopang dagunya.
Wedang jahe yang dari tadi pelan-pelan diseruput sudah mau habis, tetapi ia
masih berpikir sedikit lama untuk menjawab pertanyaanku.
“Ah, ibumu saja
mengekang kebebasan ayah untuk menikahi seorang istri lagi wahahaha!” candanya yang menurutku tidak lucu diiringi tawa lebar. “Nak,
setidak-ternilai itulah kebebasan. Engkau tak dapat membelinya dengan uang
selayaknya membeli mobil. Kalaupun kamu mau mobil, uangnya tak dapat sebebas
hati kau curi dari temanmu. Kau tidak dapat sebebas hati melakukan apapun yang
kamu mau di dunia ini. Dunia ini isinya aturan, aturan, aturan dan moral yang
harus kau patuhi. Apalagi kita yang memilih beragama, sudah tertulis sejak
berabad-abad lalu harus melakukan apa saja dan menghindari apa saja” jawabnya
lagi. Aku mengangguk tanda setuju dengan pendapatnya.
“Tapi” selangnya. Aku
memerhatikannya kembali dengan seksama “Siapapun tidak dapat mengatur isi
kepalamu. Mereka tidak dapat mengatur gejolak ide sebagai pikiranmu. Manusia
yang memiliki ide itu manusia paling kaya raya di jagat bumi ini!” Kali ini aku
yang berbalik menertawakan ayah. “Mana ada! Ayah pikir membeli kecap di warung
bisa pakai ide?! Wahahaha” aku
tertawa puas dengan guyonanku yang sedikit receh.
“Nak, ide satu orang itu kalau dirasa benar mengusik peradaban yang ada, akan
membangunkan banyak manusia yang tertidur. Produksi ide dari mulut ke mulut
lalu tulisan ke tulisan atau video ke video akan berkembang biak memasuki nalar
satu turunan ke turunan lainnya. Kamu pikir ada demo-demo di jalanan bukan
hasil ide? Kamu tak dapat menundukan isi kepala manusia dengan lembar-lembar
uang bergambar Soekarno-Hatta. Bisa saja ia menuruti apa maumu, tapi kamu tetap
saja tak bisa menghendaki isi kepalanya atas apa yang ia pikirkan terhadapmu”
jawabnya serius.
“Anjaaaaaaaaaay” aku
dengan refleks menjawab untuk mencacirkan suasana. “Jadi maksud ayah tentang
kebebasan adalah kemerdekaan berpikir?” lalu ia mengangguk “Dengan merdeka
berpikir nanti akan merdeka bersikap. Kalau sudah sadar kamu punya kebebasan,
kamu tak akan lagi peduli dengan komentar sinis teman-temanmu hanya karena kamu
memilih berambut gondrong atau mengenakan baju berwarna pink seperti perempuan”
jawabnya lagi “Tapi aku suka baju hitam dan ingin berpenampilan macho!” kataku. “ya itulah kebebasan
milikmu, nak. Prinsipnya adalah bebas
tanpa mengganggu orang lain” lalu alarm sudah bordering kencang tanda
obrolan fajarku dengan ayah sudah habis. Perlu menunggu hingga esok pagi lagi karena
ayah selalu bekerja hingga larut malam karena sedang berusaha membeli mobil
untuk sekeluarga tanpa mencuri. “Ah, kebebasan” ucapku sembari
berpikir ingin bolos sekolah sesekali.