Sekitar semester tiga atau empat, saya mengikuti salah
satu seminar tentang kewirausahaan di fakultas lain kampus saya. Saya ingat
salah satu pembicaranya sempat bilang; “produk
A hanya menghabiskan 10% dana untuk produksi barang, 10% untuk
operasionalisasi, 80% untuk pemasaran”. Saya dapat simpulkan bahwa “definisi keren kita diciptakan oleh nama
produk dan iklan”. Sebut saja hal-hal seperti;
“Cantik itu yang kulit putih”
“Keren itu pakai sepatu merk A atau N”
“Gapake hp merk ipun gak keren” dsb dsb------------
Branding
and social construction made it. Kenapa iklan mahal? Ya karena itu mempengaruhi
persepsi pembeli.
Sebuah produk sebenarnya dapat dianggap berhasil
bukan karena sangking bagus-bagus banget barangnya, tapi saat ngasih “nilai”
pada pembelinya. Orang beli produk kadang bukan karena lagi butuh-butuh banget barangnya,
tapi demi kebutuhan sebuah ego untuk dianggap keren. Kita membeli merk. That’s
stupid ideas called “materialism”. We
live in this era. Kita dipaksa hidup realistis yang sebetulnya sudah sangat
tidak realistis. Kebahagiaan kita diletakan pada benda-benda mati. Kita menilai
dan dinilai orang lain atas benda-benda mati yang digunakan. Kita mengukur
kesuksesan kita dengan pencapaian atas kepemilikan benda-benda mati. Kita
membandingkan manusia dari jenis mobilnya, besar rumahnya, seberapa banyak
barang yang dimilikinya. Karena, sangking mahalnya produk asli, lalu kita memilih beli barang bajakan. Semuanya demi terlihat keren.
Dirasa wajar tapi sebetulnya adalah sebuah kesalahan
saat kita menjadi korban iklan. Saya juga sering jadi korban iklan, toh itu
adalah makanan sehari-hari kita; pada tayangan TV, pada semua media sosial yang
kita gunakan, pada idola-idola kita yang kita anggap keren yang sebetulnya
telah di-endorse oleh produk-produk
tersebut. I never tired of saying that we’re
idiots, but world makes us become idiots. Belum lagi kehadiran media sosial
yang mendorong dan memaksa kita untuk terlihat keren badas mantap. Like, kita
semua melakukan itu. Kita semua butuh apresiasi dan pujian, itu manusiawi, tapi
apabila pujian itu lebih banyak terlontar pada benda dan produk mati yang
digunakan, ketimbang manusianya sendiri, for me that really-really tragically ironic. Kita adalah manusia-manusia
kesepian.
Saat saya student
exchange ke Jepang, pada sesi homestay
saya ditempatkan di rumah seorang petani. Hal yang langka saya temui di
Indonesia: petani disana sangat-sangat sejahtera, tapi sangat-sangat sederhana.
Kenapa saya bilang sederhana? Hidup mereka minimalis sekali. Saat sesi makan,
semuanya seperti sudah diperhitungkan hingga makanan yang disajikan memang
harus benar-benar habis sesuai dengan jumlah anggota keluarga yang makan. Kalau
tidak habis, ia disimpan dan dihabiskan pada jam makan berikutnya. Pakaian yang
mereka gunakan juga sangat-sangat sederhana, hanya kaos dan celana yang biasa
saya gunakan juga saat di rumah. Kalau dideskripsikan; rumah mereka hanya satu
tingkat berukuran sedang, dengan mobil tiga (untuk keperluan mengantar barang,
mobil pribadi keluarganya hanya satu) tapi luas kebun dan lahan pertaniannya mbo…….luas banget. Perlu diketahui juga, di Jepang menjadi petani merupakan profesi yang dianggap sangat keren. Sewaktu homestay, kita hanya bicara bahasa isyarat, mereka gak
bisa bahasa Inggris, saya yang tiga tahun belajar bahasa Jepang saat SMA juga bloon
tidak ingat apa-apa. Jadi saya hanya dapat menilai dari apa yang saya lihat.
Tapi yang jelas orang-orang Jepang, yang dianggap sebagai negara yang sangat
maju dalam berbagai bidang, sangat sederhana. Walau pusat kota seperti Tokyo,
ia tak ubahnya seperti Jakarta, tapi sebagian besar diantara mereka hidup
sesuai kemampuan yang dimiliki. Boro-boro ngeliat jalanan macet, melompong
banget. Stasiun kereta, pejalan kaki, dan pengguna sepeda terlihat lebih banyak
ketimbang jalanan. Setidaknya, sebagai negara produsen mereka tidak
mendefinisikan kesuksesan dari mobil pribadi yang dimiliki, tapi mereka berhasil
membuat negara berkembang sebagai konsumen menilai kesuksesan dari mobil
pribadi yang dimiliki. Such, ironically.
Kemampuan mendefinisikan bahagia dan merasakan
kembali “hidup” menurut saya dapat dimulai dari hidup sederhana, bahkan
Kanjeung Nabi juga memberi wanti-wanti kepada kita untuk itu. Setidaknya,
sederhana tidak pernah salah. Sederhana bukan tentang apa yang kita miliki,
tetapi menggunakan dengan bijak apa yang kita miliki. Orang kaya dapat hidup
sederhana, orang miskin dapat hidup untuk “terlihat” kaya. Itu semua, sebuah
pilihan. Kita perlu mereduksi kembali nilai-nilai keren kita dan mulai kembali
menilai orang lain dari hal-hal seperti kebaikannya. Makan di café atau warteg,
keduanya memberikan kekenyangan yang sama. Kendaraan satu miliar atau seratus
juta, keduanya sama-sama dapat mengantar ke arah tujuan yang sama. Kita perlu
mulai mencari dan mendefinisikan kebahagiaan dari hal-hal yang menurut saya
substansial; pertemanan, kekeluargaan, keharmonisan, ketenangan pikiran,
kebaikan ataupun hal-hal lain yang menurut saya cukup prinsipil. Kita tidak
perlu menyiksa diri kita sendiri dengan sebuah beban untuk terlihat keren.
Hiduplah sesuai dengan kemampuan, maka kita akan bahagia. Bedakan keinginan dan
kebutuhan, kita selalu terjebak oleh perangkap itu. Datangi banyak-banyak
tempat yang memberi arti syukur dan jangan lupa berbagi. Bergaul dengan orang
sederhana, juga, tidak membuat kita kesusahan. Hehe