Beberapa minggu ke belakang, isu LGBT mencuat ke
permukaan. Sudah dapat ditebak bagaimana respon masyarakat yang sebagian besar
menolaknya dan gambar gambar satir seperti “Tuhan
menciptakan Adam dan Hawa bukan Adam dan
Hendra” berseliweran di berbagai timeline. Memang, perihal LGBT ini ditolak
oleh beberapa ajaran agama, baik oleh Kristen ataupun Islam, meskipun ada sebagian yang menganut Kristen atau Islam tetap
menghargai eksistensi LGBT sebagai bentuk toleransi. Saya belum mengetahui bagaimana
pandangan agama lain, mungkin nanti-nanti memang perlu diskusi dengan
kawan-kawan lintas iman.
Saya
berusaha membaca dua perspektif antara kutub yang menolak maupun kutub yang
menerima. Bagaimana pandangan saya?
Saya
sering berbincang dengan keluarga terkait isu ini, saya dan keluarga tegas
menolak konsep LGBT. Alasan penolakan ini karena keluarga kami memang berlatar
belakang Islam dengan penafsiran bahwa LGBT adalah sebuah larangan. Tapi yang
saya sorot bukan permasalahan saya menolak atau menerima, itu basa-basi yang
tak berpenghujung. Tetapi bagaimana orang-orang yang menolak seperti saya, menyalurkan
penolakan tersebut?
Saya menolak jika upaya penolakan itu
melalui unsur pemaksaan, pengucilan, apalagi genosida. Prinsip saya,
kemanusiaan adalah keadilan. Mendapat tindak diskriminasi itu tidak enak, butuh
mental dan pikiran yang kuat untuk menanggung beban itu. Pernah mendapatkan
tindak diskriminasi? Jika belum, coba berempati.
Sudah jenuh juga saya akan perdebatan science vs religion yang kalau saya lihat, aplikasi perdebatannya acapkali
tidak sehat dan berakhir miskin solusi serta penuh dengan cacat logika Ed hominem (menyerang secara personal
yang memberikan pandangan, bukan pandangannya). Saya tahu, bahwa beberapa buku pegangan psikologi seperti DSM V
memang tidak melihat LGBT sebagai penyakit lagi. Tapi disisi lain juga saya
meyakini agama saya menolaknya. Pertanyaannya, mau pilih ilmu atau agama? Jika
keduanya bertebrangan, sudah pasti salah satunya ada yang benar dan salah. Hati
saya lebih memilih agama, bila ada yang memilih ilmupun juga saya hargai. Tidak
ada kebenaran universal yang dapat diterima oleh seluruh umat manusia. Orang
yang beragama bukan berarti tidak menghargai ilmu, begitupun orang yang berilmu
bukan berarti tidak menghargai agama. Tetapi isi kepala, hati begitupun perkembangan serta peradaban manusia itu
dinamis, perbedaan pendapat itu justru akar dari perkembangan ilmu itu sendiri.
Menurut saya pribadi, LGBT itu sebuah
ujian. Tidak ada bedanya dengan "ujian-ujian" lain seperti kemiskinan yang berpotensi menjadi akar kejahatan seperti pencurian, ujian berupa broken
home yang berpotensi menjadi akar anak tidak hormat pada orang tua, ujian berupa perceraian yang berujung menjadi pengingkaran janji akan through
thick and thin together, ataupun permasalahan-permasalahan yang berujung
kepada perbuatan “dosa” lainnya. Saya tekankan, ujian diatas bukanlah sebuah dosa. Tapi "potensi" yang membuat manusia berbuat ke arah yang lebih buruk. Sama saja, sebuah kecenderungan seksual yang berbeda dapat melahirkan sebuah dosa, yang dalam agama, singkatnya disebut
menyalahi kodrat.
Saya yakin, seyakin-yakinnya, tidak ada yang ingin diberikan
ujian hingga membuatnya memilih menjadi bagian dari LGBTQ ataupun menjadi "sedikit berbeda" dari kebanyakan.
Tapi coba sejenak pikirkan, bila ujian itu
kita setarakan; melihat sebuah ujian tanpa perlu memberikan stigma yang membuat
kita, sebagai manusia, berhak mengukur
derajat mana yang dosanya ringan atau besar. Itu Hak Tuhan. Kita tidak bisa
mengukur bahwa homoseksual lebih hina dari mencuri, mengumpat dan membunuh. Misal, ada orang miskin lalu kamu
mengumpat “dasar kau si miskin laknat”
atau “dasar kamu anak broken home”.
Perasaan itu, saya yakin sama sakitnya bila diterima oleh waria melalui
ungkapan “dasar kau waria murahan”.
Konsep kesetaraan selalu melahirkan dialog, bukan lagi bicara siapa mayoritas
atau minoritas sekaligus bukan siapa harus menuruti siapa. Tetapi, bicara dan
duduk mencari solusi bersama.
Harus bagaimana?
Bila memandang LGBT sebagai sebuah
penyakit, sudah pasti kita akan berpikir keras, apa obatnya? Apa kamu yakin,
bila menangani orang miskin harus diusir, digusur, ataupun disumpah-sumpahi
agar ia tak miskin? Tidak. Orang waras dan memiliki ilmu, pasti berpendapat
bahwa obat dari kemiskinan adalah pemberdayaan dan pemberian modal. Sama halnya
dengan LGBT, mereka tidak akan sembuh dengan sumpah serapah dan ayat-ayat yang
kau lontarkan. Kita flashback ke
dalam sejarah, seorang ilmuwan ternama, Alan Turing sebagai penemu dasar
teknologi untuk saya menulis ini juga seorang gay. Dia menjalani terapi kimiawi yang berakhir dengan bunuh diri.
Terapi yang diterima oleh Alan Turing ini mengebiri “hasrat seksualnya” yang
cocoknya diberikan kepada pedofilia.
Menurut rekan-rekan, apakah itu sebuah
solusi? Menurut saya tidak, jahat banget. Sore tadi, saya dan ibu saya
bincang-bincang; “Mah, kira-kira solusi
buat LGBT itu apa ya?” Lalu, bunda saya bercerita seorang Almarhum rekannya
yang punya kecenderungan gay, akhirnya
keluarganya menikahkan teman mamahku kepada seorang perempuan, punya anak pula.
Saya nanya, “terus mah, selingkuh sama
cowok teu waktu nikah”, kata mamahku ndak, pernikahannya awet sampai akhir.
Menurut bundaku, LGBT itu ujian dan penyakit hati. Lalu apakah ini solusi?
Menurut saya, jika pernikahan tersebut merupakan pilihan laki-laki atau
perempuan yang memiliki kecenderungan homoseksual, itu tidak salah. Harusnya,
dalam pernikahan tersebut juga, pasangannya memberikan keterbukaan serta
dukungan dalam proses “perubahan”. Ini mengingatkan saya akan buku Tuhan tidak
pernah iseng karya Zamarey Al-Bakhin. Tapi jika pernikahan itu
landasannya paksaan dari keluarga dan disembunyi-sembunyikan, itu akan menjadi boomerang bagi kedua pasangan saat
menjalani bahtera pernikahan.
Semenjak saya berkuliah, saya selalu
memegang paradigma; satu-satunya yang bisa mengubah diri anda, hanyalah diri
anda sendiri. Bilamana orang dengan kecenderungan homoseksual, menganggap apa
yang dialaminya sebuah kewajaran, maka sebesar apapun paksaan masyarakat tidak
akan pernah membuatnya mau berubah. Tahap perubahan perilaku juga tidak pernah
ada yang instan. Bahkan, ada beberapa tahapan; pra-kontemplasi, persiapan, kontemplasi dan maintenance. Satu-satunya yang dapat mengubah orang dengan
kecenderungan menjadi LGBT, hanyalah diri mereka sendiri. Tugas kita, hanya
memfasilitasi; sebuah rangkulan.
Sebagai
contoh kecil, orang yang paling dapat mempengaruhi saya hanyalah kawan terdekat
dan keluarga saya, diluar itu saya dengarkan tapi tidak terlalu dipikirkan.
Mana mungkin, orang dengan kecenderungan LGBT, terlalu mempedulikan
ucapan-ucapan orang yang tidak mereka kenal juga kutukan-kutukan dan sanggahan
sanggahannya. Sebagai makhluk sosial, mereka akan mempertimbangkan
pendapat-pendapat keluarga maupun teman terdekatnya yang mereka percayai.
Semakin keras penolakan yang kamu berikan, semakin mereka ingin menggenggam
kebenaran yang mereka percayai.
Sialnya,
banyak sekali keluarga ataupun teman mereka malah menjauhi dan menghukum mereka
dengan tindakan-tindakan tidak manusiawi. Bukannya akan terobati, tetapi yang
ada malah menjadi-jadi. Mungkin saja, karena mereka mendapatkan kutukan dari
orang terdekatnya, mereka lari mencari lingkungan yang membuatnya nyaman untuk
sebuah klise “menerima apa adanya”. Kalau sudah gini, orang-orang dengan
permasalahan dan penderitaan yang sama; bergerombol, membentuk kelompok,
membangun kekuatan, jadilah muncul ke permukaan. Tapi banyak juga yang
menyembunyikan kecenderungan seksual itu dari keluarga ataupun teman terdekat,
makanya jika tinggal dalam lingkungan yang sama itu lebih-lebih menjadi
dorongan untuk menguatkan.
Menurut ilmu, kadang apa yang terjadi pada
kita ada warisan genetik adapula warisan lingkungan. Tapi bagi saya, pengaruh
lingkungan itu lebih besar daripada genetik. Kembali lagi, tulisan ini bukan
permasalahan penolakan atau penerimaan. Tetapi bagi saya, perihal menghadapi
isu LGBT yang perlu diubah bukan hanya mereka saja yang memiliki kecenderungan
LGBT. Tapi sikap diri kita sendiri juga yang non-LGBT perlu berubah. Dalam
menyikapi isu ini kita perlu dewasa dan juga memiliki hati, merangkul dengan
baik, mengajak dialog dengan baik, memahami bahwa proses perubahan butuh
kesabaran, terlebih lagi tidak memberikan diskriminasi. Kita sendiri harus
menjauhi upaya upaya pemaksaan dan juga hinaan hinaan. Itu dosa loh.
Disisi lain, tindakan-tindakan kita
sebagai non-LGBT, justru menjadi tindakan preventif dan kuratif juga. Saya
punya harapan, bahwa setiap orang dapat kembali kepada kodratnya masing-masing
menjadi seorang heteroseksual, melalui pilihannya. Saya memang menomorduakan pandangan science seperti DSM V mengenai pandangan bahwa LGBT bukan penyakit.
You are what you believe. Jika kamu
berpikir itu salah, maka kamu akan mencoba mengubahnya. Jika kamu berpikir itu
benar, maka kamu akan tetap menggenggamnya.
Ini perihal self determination kok. Be the changes you wish to see in the world
– Ghandi.
Saya menolak jika di Indonesia ada
legalisasi pernikahan sesama jenis, seperti di Amerika. Struktur dan tatanan
sosial masyarakat kita akan berubah banyak, termasuk budaya juga. Jika memang orang
dengan kecenderungan LGBT tetap bersikukuh dengan kecenderungan seksualnya,
memang ada baiknya, perihal orientasi seks
(baik homoseksual ataupun heteroseksual) cukup dalam ruang privat saja, bukan dalam ranah publik. Jika ini
berkepanjangan sampai masuk ke dalam agenda perpolitikan dan selalu mencuat ke
media; yang saya khawatirkan justru yang menjadi korban bukan non-LGBT, tetapi
justru LGBT itu sendiri. Realitanya, masyarakat kita tidak sedewasa itu dalam
menyikapi sebuah perbedaan, apalagi terhadap apa yang dianggap tabu.