Berpikir adalah suatu keharusan,
barangkali itu hanya alasan. Satu minggu dalam memberi jeda antara diri sendiri
dan lingkungan adalah cara mendapat kenikmatan. Tidak untuk selamanya, karena
itu kegilaan. Tetapi hal tersebut cukup berhasil menetralisir pengaruh dari keramaian.
Berjalan mundur dari bisikan banyak isi kepala dan tatapan manis hingga sinis
memberikan kita peluang untuk memikirkan diri sendiri. Adakah istilah berempati
untuk diri sendiri? Apa bedanya I dan Me? Saya lupa teorinya dan sedang malas
juga mengingatnya apalagi mencarinya. Kalau dipikir-pikir, terlalu banyak memikirkan
orang lain bisa saja disebut egois, pun seperti cakap sang budak dalam Alkemis,
ketika kita terikat dalam suatu lingkungan, mereka akan mencoba mengubah kita semau
mereka. Diri sendiri pun begitu, disadari atau tidak, mungkin ketika kita masuk
dalam kehidupan seseorang, kita akan mengubah hidup mereka, entah dengan cara
yang terasa memaksa atau dengan sendirinya. Ah,
kurang tahu juga, bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Ini interkoneksi mungkin, ya? Karena keterikatan dan keterlibatan
akan saling menggantungkan, kalau terlalu berlebihan mungkin perlu sedikit
direnggangkan agar bisa kembali bernafas. Apakah saya ingin sendiri? Tidak. Saya cukup waras bila mengingat
rasanya terbelenggu tidak punya sandaran sama sekali. Tetapi, satu minggu ini
memberikan sebuah ilham, bahwa segala sesuatu yang berlebihan tidak pernah
baik. Saya tahu itu sedari kecil, tetapi untuk mengerti sesuatu perlu jatuh
dalam konflik batin dulu. Intinya, saya sedang mendefinisikan “diri sendiri”
tetapi tak kunjung berhasil. Sedari dulu tidak tahu quotes “be yourself” itu bermakna apa, toh hidup kita hanya sekedar rekayasa
lingkungan dan virus beberapa dogma yang selalu berkembang biak menjadi regenerasi.
Tapi rasanya kalau menjadi orang yang super nurture
alias menjadi orang yang segalanya berasal dari bentukan lingkungan, kelihatannya
seperti orang tanpa prinsip sama sekali.
Edan.
Dalam satu minggu ini, saya banyak
berkaca ke belakang, alhasil saya gelisah. Lebih-lebih kalau berpikir soal ke
depan, saya bisa depresi juga lama-lama. Tapi kalau tinggal datar-datar seperti
ini juga, saya gak mau. Anaknya labil sekali, tetapi keep smile saja. Lebih baik menunggu kejutan-kejutan, seperti
halnya tahun kemarin wawancara santai yang berhasil mengantarkan ke negeri
sakura. Kalau hidup dapat ditebak, tidak seru.
Tulisan ini adalah cara manusiawi dalam menghibur diri sendiri, dan lebih
beretika ketimbang mereka yang menghibur diri dengan hobi bakar bakar sambil
teriak Allahu Akbar.
Saya makhluk sosial, begitupun
orang-orang yang masuk dalam kehidupan saya. Entah dengan cara apapun mereka
membentuk saya, saya senang bergaul dengan mereka. Hal klasik yang selalu saya
pegang adalah peribahasa birds of feather
flock together, kalau saya dinilai orang dari keluarga dan teman-teman saya
yang baik, saya senang sekali karena otomatis saya akan dianggap baik, tetapi
tetap saja saya punya sisi individualistis sebagai diri saya. Memang nafsu
perihal kepuasan tidak pernah cukup, sesekali memang perlu bergaul dengan
orang-orang yang bertebrangan, baik pahamnya ataupun sikapnya. Cap nakal pernah
saya terima, begitupun cap baik. Akan ada cap-cap lain yang akan menjadi
deretan dalam usia saya, sampai sejauh mana saya harus peduli? Karena setidakpeduli
apapun, tidak bisa dipungkiri mudah terpikirkan. Malas punya masalah, tetapi
malas juga kalau cari aman.
Ya
Tuhan…ampuni hambaMu yang sedang labil ini.