Ada sebuah tantangan pada fase pendewasaan, yakni mencoba
keluar dari kebingungan. Satu kebingungan melebarkan dilema-dilema yang berkepanjangan,
apalagi ketika dua kebingungan saling bertabrakan, tak ada bedanya dengan hujan
yang sedang mengadu nasib pada matahari.
Kebingungan-kebingungan tidak terlahir dari luar, ia hanya bentuk kesadaran
bahwa sebenarnya kenyataan tidak sesuai dengan bayangan. Setiap kekecewaan
selalu melahirkan kesadaran, begitupun kebahagiaan selalu melahirkan lupa
ingatan. Tidak ada keabadian yang sempurna pada jejak di bumi, karena Tuhan
selalu membolak-balikan hati.
20+. Kurang lebih ada pikiran, perasaan begitupun orang yang masuk dan terbuang selama dua windu lebih itu. Usia dimana kita sering menghujat waktu agar cepat berlalu, begitupun sesekali kita memohon agar ia diam, di lain waktu kita memaksa agar ia berupaya kembali. Tapi tiada masa lalu yang bisa terulang, ia hanya cakap sang rembulan kepada bintang. Tapi pagi tak pernah mengingkari atas janji bahwa ia akan datang kembali. Kita akan dikenalkan pada perasaan yang sama berkali-kali, hanya kita akan belajar untuk berbeda dalam memaknai.
Masa depan yang tidak bisa ditentukan adalah bentuk
ketakutan dan dogma yang cukup mencekam pada pemuda-pemudi yang merasa
berantakan. Mereka menyembunyikan ketakutan tersebut pada harapan, sambil seringkali berkaca pada tokoh idaman “Barangkali aku juga akan demikian” tukas
hatinya dengan penuh pembenaran. Sekali lagi, masa depan memang tak
terprediksi, apalagi seperti pepatah tua tentang roda berputar, itu kenyataan
yang tak terelakan.
Ketakutan yang paling menjadi-jadi adalah ketika
rasa syukur harus tergantikan dengan perasaan mengikhlaskan. Dua kejadian
tersebut tak hentinya menjadi kejutan dalam hidup, yang mana tangisan sendiri
menjadi paradoks.
Ah sudahlah…. Kebahagiaan memang tanggung jawab
masing-masing, dan dibahagiakan adalah tanggung jawab semesta kepada kita.