Formulir Kontak

 

Mencarimu ke Tepi Ketidakmungkinan




            Pernahkah kamu tertidur lelap hingga membawamu pada mimpi yang sebegitu terasa nyata? Mimpi itu membuatmu terbangun dengan rasa gundah. Kenapa ini tidak nyata? Kenapa itu menjadi sekedar mimpi? Kalaupun memaksakan tidur kembali, sulit mencari kemungkinan bermimpi dan terbangun dengan perasaan yang sama. Kamu bisa saja memaksakan diri melamunkan hal yang sama berulang kali, tapi kamu tahu sendiri bahwa lamunan hanya sejenis pikiran yang dibuat-buat. 

            Bagaimana aku harus menatapmu setelah mimpi itu muncul? Dalam mimpi itu kamu menatapku dengan penuh binar. Tatapan itu membuat matamu nampak berkilauan daripada biasanya. “Ah bisa saja dalam mimpi itu matamu terpantul sinar matahari!” Tukasku membuat pembenaran. Aku tidak ingin mengartikan tatapan itu sebagai tatapan yang tulus. Tatapan seperti anak kecil yang sedang mengelus-elus mainan kesayangannya. Tatapan seperti seorang ibu yang sedang memasangkan toga wisuda kepada anaknya yang baru lulus. Tatapan yang berkaca-kaca seperti laki-laki yang begitu mencintai perempuannya. 

Bagaimana mungkin? Karena aku paham, tatapan itu takkan pernah kudapatkan sekalipun aku harus menyapukan blush on di pipiku hingga merona, menggunakan lipstik warna merah muda, ataupun senyum yang coba kubuat dengan secantik-cantiknya. Aku bisa saja mengajakmu berbicang hingga berjam-jam tentang Star Wars, travelling begitupun perihal rendang pedas juga hal-hal lain yang kamu cintai. Tapi aku mengerti bahwa kamu bisa mencintai apa yang kubicarakan tanpa jaminan kamu mencintai siapa yang bicara. Aku bisa saja membuatkanmu masakan-masakan kesukaanmu tanpa jaminan kamu mencintai siapa yang memasaknya. Bisakah manusia dicintai atas pribadinya bukan atas apa yang dilakukannya? 

Karena akan ada masanya kita hanya mampu menerima tanpa sanggup berbuat apa-apa lagi. Membayangkan ini aku teringat ibu dari temanku yang begitu pandai memasak dan terpaksa berhenti menghidangkan makanan lagi di meja makan pasca terkena serangan stroke. Jika cinta perihal memberi, sanggupkah kamu menerima dengan bahagia?  Jika cinta perihal menerima, sanggupkah kamu memberi dengan bahagia?

Sedangkan kamu sama sekali tak paham keduanya. Bagimu, apapun yang kubicarakan tak lebih dari sekedar perbincangan yang akan dilupakan setelah kita memutuskan untuk bergegas pulang. Bagimu, apapun yang kubuat tak lebih dari sekedar sesuatu yang kamu cicipi dan telan begitu saja. Bagimu, kehadiranku tak lebih dari sekedar seseorang yang kontaknya kamu simpan baik-baik tanpa pernah ada niat kamu hubungi. Kamu pikir aku akan bertahan dengan ini? Kalau bisa, sedari awal juga aku sudah menyerah. Tapi mimpi brengsek itu membuatku sedikitnya ingin membangkang. Membuatku ingin membentuk celah kemungkinan dari ketidakmungkinan. Membuatku berani untuk terluka hingga ia terasa kebal karena terbiasa. 

Kamu paham bukan rasanya tak mendapatkan hal yang kamu inginkan meskipun kamu sudah mati-matian berusaha? Setidaknya kamu perlu mengingat ketika kamu gagal masuk ke perguruan tinggi yang kamu idamkan padahal kamu selalu memaksakan diri belajar selama berbulan-bulan hingga matamu memerah karena rasa kantuk yang kamu tahan. Kamu tahu kan rasanya mengutuki bahwa hidup ini tak adil? Kamu tak tahu, setiap kali aku bertemu denganmu, aku bergelut dengan perasaan maha-tolol dan maha-brengsek itu. Dari kejauhan aku tersiksa dengan rasa rindu yang menggebu, sedang dari kedekatan aku juga tersiksa dengan ketimpangan antara apa yang ku lihat di mimpi dengan apa yang kusaksikan baik-baik di depan mata. Tapi kamu hanya akan mampu melihatku yang masih tertawa dengan guyonanmu tentang politik negeri kita. Tetap saja kamu tak bisa disalahkan, karena aku paham bahwa manusia hanya mampu menerka perihal isi hati. 

Aku ingat, dalam mimpi itu kita sedang berjalan-jalan di sebuah telaga. Kita memutuskan duduk sembari membicarakan masa depan yang masih menjadi rahasia. Aku ingat tatapanmu itu mengajakmu menjelajah jauh mengitari waktu dengan bablas. Kamu bertanya “Bagaimana aku akan menghadapi kesendirianku saat tua nanti dan kamu telah tiada? Bagaimana perihal berdewasa menghadapi rasa kesepian meskipun umurku memang mengharuskanku untuk dewasa? Bagaimana perihal menghadapi kesedihan ketika tak ada lagi yang mengingatku? Sanggupkah aku untuk itu semua?

Aku tak mengingat dengan jelas apa jawabanku, yang mampu kusimpulkan kamu hanya takut kehilanganku. Sedangkan, saat ini, kalaupun aku sengaja menghilang kamu takkan berusaha mencari. Sedangkan, saat ini, kalau aku tiadapun kamu sama sekali takkan sadar bahwa aku tiada. Kamu hanya akan tetap melihat warung di Jalan Jakarta yang pernah kita sambangi sebagai tempat makan biasa, bukan sebagai tempat yang akan membuatmu teringat pertemuan pertama denganku. Kamu hanya akan tetap menonton Star Wars berkali-kali dengan rasa bahagia, bukan lagi sebagai tontonan menyedihkan yang akan membawa ingatanmu tentang apa yang sempat kubicarakan. Bagimu aku hanya sekelebat manusia yang hadir mengisi waktumu yang senggang, bukan sosok manusia yang hadir di pikiranmu ketika kau tak mampu tertidur lelap.

Bagaimana kelak nanti ketika aku melupakan mimpi itu? Mungkin bisa jadi mimpi itu akan tergantikan dengan kehadiran mimpi penuh khayalan yang lebih indah. Bukankah sesuatu yang baik selalu tergantikan dengan yang lebih baik? Sedangkan saat ini mimpi itu menjadi kebahagiaan semu yang sedang kucoba jelmakan menjadi sesuatu yang nyata. Kebahagiaan semu yang sedang coba kurajut di tepi ketidakmungkinan. Mimpi itu masih menggeliat dengan gagah menjadi lamunan-lamunan di tengah lagu yang kuputar saat menaiki commuter line. Brengsek sekali memang. Entah kamu yang brengsek atau memang ekspektasiku sendiri yang brengsek menggerogoti pikiranku yang seharusnya lebih banyak kubagi pada skripsiku.

Entahlah kamu harus kudoakan berapa kali dalam sujudku, dalam tengah malamku, ketika hujan turun, ataupun doa yang katanya terjamin dikabul kalau aku merasa tertindas. Semuanya hanya bentuk siasat atas kepasrahan dan kegelisahanku sendiri tentang ketidakmungkinan yang sedang coba kubuat. Entahlah aku harus mendoakanmu atau tidak meskipun bisa jadi itu melawan guratan takdir yang katanya sudah dibentuk sejak aku lahir. Entahlah suatu saat kamu akan mencintaiku atau tidak. Entahlah ini bentuk cinta, ambisi, rasa suka atau sayang. Persetan sekali, aku sama sekali tak dapat membedakannya. Entahlah apakah takdir akan memihakku atau tidak. Apa harus aku harus tetap mencintaimu hingga merasa letih? Apa aku masih harus tetap mengingatmu hingga isi kepalaku rontok? Bisakah kamu memaksaku sekuat tenaga untuk menyerah atas mimpi itu?


Total comment

Author

Unknown

0   komentar

Cancel Reply