Formulir Kontak

 

Masih batas wajar



Nakal. Satu kata yang merupakan sebuah cap bagi orang-orang ataupun sikap yang dianggap menyimpang dari norma masyarakat. Singkatnya, kebalikan dari baik. Sejak dulu nenek moyang kita masih kecil cap nakal sudah ada, hanya saja di era digital ini ada banyak orang-orang yang disorot sekaligus dijadikan representatif kenakalan oleh sebagian besar orang. Kenakalan menjadi sesuatu yang lumrah dipertontonkan dan diagungkan. Nakal menjadi trend. (I saw “Bad” in Youtube by Karin & Younglex, I swear I saw!) That spread so fast! Mungkin lirik “masih batas wajar” adalah makna kenakalan, sedang di luar batas wajar adalah kejahatan. Not sure.
Sepengalaman saya sering “terjun” ke bawah, ada banyak pembelajaran yang sering saya anggap berharga. Meskipun saya pribadi tidak menyentuh narkoba, alkohol, free sex ---ataupun benda lain yang sering diasosiasikan dengan kenakalan--- tetapi saya tidak menutup pergaulan saya dengan siapapun. Siapapun! Saya berteman baik dengan mantan ketua geng motor, mantan penarkoba, PSK dan juga orang-orang “underground” lain yang oleh masyarakat terpinggirkan. Saya belajar solidaritas, empati dan loyalitas dari mereka, itu adalah keistimewaan yang bagi saya luar biasa. (Tambahan! Cerita menarik dari mereka juga luar biasa).
Kenapa orang menjadi nakal? Saya selalu memasang logika cause-effect dalam memandang sesuatu. Apakah kenakalan itu suatu sebab atau akibat? Jika kalian hanya melihat kenakalan dari apa yang nampak saja, berarti cara pandang kalian masih seperti Iceberg.
            Anggaplah apa yang kalian lihat perihal kenakalan hanyalah bongkahan es kecil di permukaan. Makanya saya tidak heran saat orang-orang yang diberi cap nakal hanya membalikan judgemental yang diberikan orang-orang dengan kata-kata yang tidak jauh dari “you know my name, not my story”. “You only see me by the cover” et cetera.  Tapi emang beneran kok………………Actually we know nothing about them.
Tidak ada penarkoba yang bahagia. Itu yang saya simpulkan dan pahami saat saya berhadapan dengan klien saat magang di NGO penanganan HIV/AIDS. Tidak ada yang ingin jadi penarkoba, karena itu adalah pelarian dari ketidakbahagiaan yang menimpanya. Saking putus asanya orang tersebut dengan masalah yang dihadapinya pada akhirnya lari ke narkoba. Setelah putus asa degan masalahnya, orang-orang menggunjingnya. Begitupun, tidak ada orang nakal yang bahagia. Orang-orang Indonesia itu menurut saya sebagian besar krisis pendengaran, senang menilai senang bicara senang menasihati tapi enggan bertanya, memahami dan mendengar apalagi merangkul. Hanya berani menyimpulkan “SI A NAKAL” by what they’ve seen tetapi enggan bertanya sendiri “mengapa si A bisa nakal?” Padahal, didengarkan dan dipahami adalah sebuah kebutuhan mutlak setiap orang.
Saya pribadi bahagia sekali saat sedang bersedih ada yang bertanya “are you okay?”  lalu mencoba memahami sekaligus mendengarkan saya and she/he understands I am NOT okay even I said I am so okay/fine. Saat saya meminta orang-orang untuk mengabaikan saya sebetulnya saya sedang butuh orang tersebut. Sebuah kerumitan manusia. Kenapa saya ungkit hal ini? Karena yang coba saya bahas adalah perihal sesuatu yang nampak dalam kenakalan dan juga yang tidak. Saya melihat kenakalan hanyalah sebuah topeng dibalik kurangnya mendapatkan kebutuhan afeksi/kasih sayang, kurangnya mendapat perhatian dan pemenuhan kebutuhan emosi lain seperti didengarkan dari orang-orang terdekatnya (mostly, family). Orang kerap melihat dari apa yang hanya bisa dilihat oleh mata dan kerap mendengar apa yang hanya ingin didengar, tetapi enggan memahami. Mungkin yang dilihat hanyalah bahwa dia pengguna alkohol, tatto dan juga benda lain yang membuatnya gatal untuk mengatakan nakal, tetapi tidak melihat apa yang dialaminya hingga mau-maunya menelan alkohol?
Begini, kenakalan adalah sebuah pelarian. Saya paham itu sejak jaman SMA karena saya berteman baik dan sering bertukar cerita dengan teman-teman yang dianggap “nakal” oleh orang-orang. Saya adaptasi dengan cerita-cerita seperti broken home dan bullying jauh sebelum saya mempelajari ilmu tersebut di ruang kuliah. Para remaja secara psikologis sedang mengalami storm and stress yang dipengaruhi perubahan hormonal dan kelenjar. Emosi mereka begitu dibentuk pada masa-masa pencarian jati diri dan peran peer group dalam pembentukan perilaku remaja lebih tinggi dibandingkan orang tua. Adolescence is part of life both beautiful and horrible at the same time.
Pembentukan karakter dan kepribadian manusia dipengaruhi dan dibentuk oleh nature (bawaan biologis) sekaligus nurture (bentukan lingkungan). Kenapa orang bisa nakal? Tentu saja karena pengaruh lingkungannya yang membentuknya nakal. Tapi jauh sebelum itu saya mempertanyakan “mengapa sebagian remaja memilih pergaulan yang “nakal” dibanding yang baik? Hal ini juga tidak lepas dari peran budaya. Bahkan, konsep gender dapat dimasukkan loh dalam bahasan ini terutama tentang konsep maskulinitas [note: konsep maskulinitas atau ingin “cowok banget” di beberapa tempat diasosiasikan dengan rokok, tato dan alkohol]. Intinya, semua kasus kenakalan remaja tidak dapat digeneralisir. Ada orang yang lari ke pergaulan nakal karena broken home, ada yang lari ke pergaulan nakal karena tidak menemukan sense of belonging dari lingkungan yang “dianggap baik”, ada yang lari ke pergaulan nakal karena ingin dianggap kuat dan mendominasi sebuah lingkungan, ada pula yang lari ke pergaulan nakal demi terlihat keren. D S B. Kamu bisa saja memanggil semua orang yang tinggal di balik bilik penjara adalah jahat, tetapi tidak dapat menggeneralisir semuanya sama, karena kasus yang dialami dan alasan mereka mendekam disana juga berbeda-beda. Begitupun, boleh jadi kamu menganggap sebuah kelompok nakal, tetapi tidak dapat menggenalisir secara rata setiap individu karena alasan mereka menjadi seperti itu berbeda-beda. Tapi, tidak dapat dipungkiri bahwa tinggal dalam lingkungan kenakalan bisa satu langkah lebih dekat ke dalam kejahatan. Efek buruk alcohol dapat memicu kekerasan dan efek buruk pergaulan bebas dapat memicu pemerkosaan.
So what should we do? Listen, connect and act. Bukan speak and speak and speak. Kenapa? Menggunjing orang nakal tidak akan melepaskannya dari belenggu kenakalan. Tetapi berteman dengan mereka, mendapat kepercayaan mereka dan menarik mereka dalam lingkungan yang baik dengan cara-cara yang manusiawi adalah lebih bijak. Perihal ini, memiliki sikap dan sifat prinsipil adalah penting. Bagaimana caranya kita mempengaruhi bukan dipengaruhi. Itu adalah prinsip saat saya bergaul dengan siapapun. Dear orang dewasa, ada banyak remaja yang butuh didengarkan bukan hanya dinasihati. Jika kamu adalah seorang kakak yang memiliki adik, dengarkan mereka, ketahuilah pergaulan mereka bagaimana. FYI, ada penelitian bahwa orang tua yang berteman baik dengan peer group anak itu berdampak pada peningkatan prestasi mereka. Jangan apatis dengan urusan remaja, karena mereka sedang mencari jati diri mereka. Mencoba sana kemari. Kalau kamu mahasiswa, you can touch them by going to school. Buatlah aktivitas yang menarik untuk mengajak remaja stay positive in digital era. Saya bersikukuh pada prinsip menggunjing remaja nakal tidak akan berdampak apa-apa yang ada malah membuat mereka menjadi-jadi. Kenapa pula mengeluarkan remaja dari lingkungan kenakalan cukup sulit? Karena perlu diakui solidaritas yang mereka miliki jauh lebih kuat dibanding pergaulan yang dianggap baik. Ikatan emosi mereka kuat karena ada “persamaan” yang kuat. Itu tak jauh beda dengan  ikatan buruh begitu kuat karena mereka memiliki masalah dan memperjuangkan yang sama. Begitupun ikatan kenakalan remaja, itu adalah sebuah mata rantai yang kuat. Bahkan menangani satu orang anak yang dianggap nakal saja, yang dihubungkan perlu banyak dimulai sekolah, peer group hingga keluarga. Memahami tentang kenakalan remaja dan menguranginya bagi saya adalah tugas bersama.
Yuk rangkul mereka pelan-pelan.

Total comment

Author

Unknown

0   komentar

Cancel Reply